PERIODE PERANG MEMBELA DIRI : PERANG BADAR, BANU QAINUQA DAN PERANG UHUD

PERIODE PERANG MEMBELA DIRI : PERANG BADAR, BANU QAINUQA DAN PERANG UHUD
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sirah Nabawi
Dosen Pengampu :
Elfa Robi, Lc








Disusun Oleh :
Haifa Nuha R.                       -
Irma Maelasari                       -
Jazilah Arabiyah                14.02.0157

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
HUSNUL KHOTIMAH
KUNINGAN
2015


KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT., karena  atas rahmat, karunia,  dan kuasa-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Periode Perang Membela Diri : Perang Badar, Banu Qainuqa dan Perang Uhud tanpa ada halangan apapun sesuai dengan waktu yang telah ditentukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sirah Nabawi. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW., para sahabatnya dan kepada umatnya hingga akhir zaman.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa makalah ini tidak akan tersusun dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai sumber referensi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini tidak lupa juga penulis mengucapkan banyak terima kasih atas berbagai sumber referensi demi tersusunnya makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak luput dari kekurangan. Untuk itu, saran dan kritik konstruktif yang membangun sangat kami  harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kesalahan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami dan pada umumnya bagi pembaca.   


Kuningan, 01 November  2015



Penulis

 







i

i


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................................ 1
B.  Rumusan Masalah............................................................................................ 1
C.  Tujuan.............................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................... 3
A. Perang Badar................................................................................................... 3
     Beberapa Ibrah................................................................................................ 8
B.  Banu Qainuqa’................................................................................................. 21
     Beberapa Ibrah................................................................................................ 24
C.  Perang Uhud.................................................................................................... 32
     Beberapa Ibrah................................................................................................ 40
BAB III PENUTUP................................................................................................. 54
A. Kesimpulan...................................................................................................... 54
B.  Saran................................................................................................................ 56
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 57



ii

ii
 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah menyebarkan agama Islam mendapatkan berbagai tantangan dan hambatan. Mulai dari ejekan, hinaan, cacian bahkan tindakan fisik yang dilakukan kaum kafir. Akan tetapi hal itu tidak menyurutkan semangat Rosulullah dalam membawa misi nya menyebarkan agama Islam yang Rahmatallilngalamin yakni mendakwahkan risalah Islmiyah bagi seluruh umat di alam semesta ini. Tak terkecuali dengan adanya peperangan pada zaman rosulullah seperti perang Badar dan Uhud. Terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya sejumlah peperangan  antara Nabi dengan kaum musrikin. Diantaranya iri hati, cemburu serta dendam batin antara kaum musrikin kepada agama Islam Khususnya Nabi Muhammad SAW.
Orang orang kafir semakin kuat untuk menggagalkan visi misi Rosulullah dalam berdakwah. Berbagai cara licik mereka lakukan sehingga peperangan pun tidak dapat dihindari.[1] Diantara dua perang besar tersebut, terjadi pengkhianatan pertama kaum Yahudi terhadap kaum muslimin pula yaitu yang dilakukan oleh banu Qainqa.
Berdasarkan masalah diatas, kami akan membahasnya dalam makalah yang berjudul “Periode Perang Membela Diri : Perang Badar, Banu Qainuqa dan Perang Uhud”

B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana terjadinya perang badar dan perang uhud?
2.    Bagaimana terjadinya penghiyanatan yang dilakukan oleh banu Qainuqa?
3.    Apa saja ibrah yang dapat di ambil dari ketiga peristiwa tersebut?

C.    Tujuan
1.    Untuk mengetahui terjadinya perang badar dan perang uhud
2.    Untuk mengetahui terjadinya penghiyanatan yang dilakukan oleh banu Qainuqa
3.    Untuk mengetahui ibrah yang dapat di ambil dari ketiga peristiwa tersebut





BAB II
PEMBAHASAN
A.       Perang Badar Kubra
Perang badar kubra adalah peperangan pertama yang dilakukan rasulullah saw. Hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang lebih kuat menyebutkan bahwa permulaan disyariatkan peperangan ialah sesudah Hijrah. Perintah perang ini dilaksanakan pada bulan Shafar , awal bulan kedua belas sejak hijrah Nabi saw ke Madinah. Saat itu Rasulullah saw keluar untuk pertama kali dengan tujuan perang. Peperangan ini dikenal dengan perang “Widan” yang bertujuan memerangi kaum Quraisy dan Nabi Hamzah. Tetapi Rasulullah saw tidak melanjutkan peperangan karena Baniu hamzah menawarkan perdamaian. Setelah itu Rasulullah saw, bersama para sahabatnya kembali ke Madinah tanpa melakukan peperangan.
Mendengar berita mengenai rencana kedatangan kafilah perdagangan kaum Quraisy dari Syam dibawah pimpinan Abu Sofyan bin Harb, Rasulullah saw mengajak kaum Muslimin langsung dibawah komando beliau untuk mencegat dan merampas kafilah tersebut dengan dalih sebagai ganti atas kekayaan mereka yang dirampas oleh kaum Musyrikin di Mekkah. Anjuran Rasulullah saw ini  hanya disambut oleh sebagian kaum Muslimin, karena sebagian yang lain menyangka tidak akan terjadi peperangan.

3
Di tengah perjalanan menuju Mekkah, Abu Sofyan mendengar bahwa kafilahnya akan dihadang oleh kaum Muslimin. Maka diutuslah seorang kurir bernama Dhamdham bin Amer al-Ghiffari ke Mekkah untuk menyampaikan berita kepada kaum Quraisy dan meminta bantuan pasukan guna menyelamatkan harta kekayaan mereka. Demi mendengar berita ini, seluruh kaum Quraisy dengan sertamerta mempersiapkan diri, bersiaga penuh dan berangkat keluar dengan tujuan perang. Tak seorang pun dari para tokoh Quraisy yang tertinggal dari keberangkatan pasukan yang berjumlah sekitar seribu personil ini.
Sementara itu, menurut riwayat Ibnu Ishaq, Rasulullah saw keluar bersama dengan 314 sahabatnya pada suatu malam di bulan Ramadan dengan membawa 70 ekor unta. Setiap ekor unta ditunggangi secara bergantian oleh dua atau tiga orang. Mereka tidak mengetahui akan keberangkatan bala bantuan kaum Quraisy tersebut. Dalam pada itu, kafilah Abu Sofyan berhasil lolos meninggalkan dan menyusuri air Badr dengan melalui jalan pantai menuju ke arah Mekkah. Akhirnya ia berhasil menyelamatkan kafilah dan perniagaannya dari ancaman bahaya.
Setelah mendengar berita keberangkatan kaum Quraisy, Rasulullah saw segera meninta pandangan dari para sahabatnya. Kaum Muhajirin mendukung dan memandang baik pendirian beliau. Diantaranya al-Miqdad bin Amer dengan tegas menyatakan : “Ya Rasulullah saw, laksanakanlah apa yang telah diperintahkan Allah kepada anda. Kami tetap bersama anda” Tetapi Rasulullah saw terus memandang ke arah mereka dan berkata “Kemukakanlah pandangan kalian kepadaku, wahai manusia” Kemudian Sa‘d bin Mu‘adz menjawab “Demi Allah, tampaknya anda menghendaki ketegasan sikap kami, wahai Rasulullah saw?” Nabi saw menjawab “Ya Rasulullah saw, laksanakanlah apa yang telah diperintahkan Allah kepada anda. Kami tetap bersama anda”. Tetapi Rasulullah saw terus memandang ke arah mereka dan berkata “Kemukakanlah pandangan kalian kepadaku, wahai manusia” Kemudian Sa‘d bin Mu‘adz menjawab “Demi Allah, tampaknya anda menghendaki ketegasan sikap kami, wahai Rasulullah saw?” Nabi saw menjawab “Ya, benar!“ Sa‘d menjawab “Kami telah beriman kepada anda, dan kami pun membenarkan kenabian dan kerasulan anda. Kami juga telah menjadi saksi bahwa apa yang anda bawa adalah benar. Atas dasar itu kami telah menyatakan janji dan kepercayaan kami untuk senantiasa taat dan setia kepada anda. Jalankanlah apa yang anda kehendaki, kami tetap bersama anda. Demi Allah, seandainya anda menghadapi lautan dan anda terjun ke dalamnya , kami pasti akan terjun bersama anda”.
Mendengar jawaban Sa‘d ini Rasulullah saw merasa puas dan senang, kemudian beliau memerintahkan “Berangkatlah dengan hari gembira, karena sesungguhnya Allah swt telah menjanjikan kepadaku salah satu di antara dua golongan… Demi Allah aku seolah-olah melihat tempat-tempat mereka bergelimpangan….”. Setelah itu Rasulullah saw mulai mencari berita tentang pasukan Quraisy melalui para intel yang disebarkannya, sehingga kaum Muslimin mengetahui bahwa mereka berjumlah sekitar sembilan ratus atau seribu orang dan bahwa mereka datang disertai seluruh tokoh kaum Musyrikin.
Sebenarnya Abu Sofyan telah mengirim seorang kurir ke Mekkah, memberitahukan bahwa kafilah telah selamat. Tetapi Abu Jahal tetap bersikeras untuk melanjutkan perjalanan, sembari mengatakan “Demi Allah, kami tidak akan pulang sebelum tiba di Badr. Di sana kami akan tinggal selama tiga hari memotong ternak, makan beramai-ramai dan minum arak sambil menyaksikan perempuan-perempuan menyanyikan lagu-lagu hiburan. Biarlah seluruh orang Arab mendengar tentang perjalanan kita semua dan biarlah mereka tetap gentar kepada kita selamalamanya”. Kemudian mereka bergerak sampai tiba di pinggir sebelah seberang lembah Badr. Sedangkan Rasulullah saw telah tiba di pinggir lembah seberang lain dengan posisi nyaris sehadap dengan lawan, dekat mata air Badr.
Al Habbab bin Mundzir bertanya kepada Rasulullah saw “Ya Rasulullah saw, apakah dalam memilih tempat ini anda menerima wahyu dari Allah swt, yang tidak dapat diubah lagi? Ataukah berdasarkan tipu muslihat peperangan?” Rasulullah saw menjawab “Tempat ini kupilih berdasarkan pendapat dan tipu muslihat peperangan” kemudian Al- Habbab mengusulkan “Ya Rasulullah saw, jika demikian, ini bukan tempat yang tepat. Ajaklah pasukan pindah ke tempat air yang terdekat dengan musuh, kita membuat kubu pertahanan disana dan menggali sumur-sumur di belakangnya. Kita membuat kubangan dan kita isi dengan air hingga penuh. Dengan demikian kita kana berperang dalam keadaan mempunyai persediaan air minum yang cukup, sedangkan musuh tidak akan memperoleh air minum” Rasulullah saw menjawa “pendapatmu sungguh baik”.
Rasulullah saw kemudian bergerak dan pindah ke tempat yang diusulkan oleh Habbab. Di samping itu SA‘d bin Mu‘adz mengusulkan supaya dibuatkan Arisy (kemah) untuk Nabi saw sebagai tempat perlindungan dengan harapan supaya bila ada sesuatu dan lain hal yang tidak diharapkan tejradi Nabi saw dapat kembali dengan mudah dan selamat kepada kaum muslimin di Madinah dan agar mereka tidak lemah semangat karena ketidak beradaan nabi saw diantara mereka. Usulan ini disetujui Nabi saw kemudian rasulullah saw menenangkan jiwa para sahabatnya dengan adanya dukungan dan pertolongan Allah swt, sampai-sampai Rasulullah saw menegaskan kepada mereka “Disini tempat kematian si Fulan dan si Fulan (dari kaum Musyrikin)” seraya meletakkan telapak tangannya di atas tanah.
Akhirnya nama-nama yang disebutkan Nabi saw itu ternyata benar bergelimpangan tepat di tempat yang telah ditunjukkannya itu. Selanjutnya Rasulullah saw dengan khusyu‘ memanjatkan do’a kepada Allah swt pada malam Jum‘at tanggal 17-Ramadhan. Diantara yang diucapkannya ialah “Ya Allah,  inilah kaum Quraisy yang datang dengan segala kecongkakan dan kesombongan untuk memerangi engkau dan mendustakan rasul-Mu. Ya Allah, tunaikanlah janji kemenangan yang telah engkau berikan kepadaku. Ya Allah, kalahkanlah mereka esok hari”. Beliau terus memanjatkan do’a kepada Allah swt dengan merendah diri dan khusyu‘ seraya menengadahkan kedua telapak tangannya ke langit, sehingga karena mereka iba Abu Bakar berusaha menenangkan hati Nabi saw dan berkata kepadanya “Ya Rasul Allah, demi diriku yang berada di tangan-Nya, bergembiralah. Sesungguhnya Allah pasti akan memenuhi janji yang telah diberikan kepadamu”. Demikian pula kaum muslimin, mereka ikut berdo’a kepada Allah swt memohon pertolongan dengan penuh ikhlas dan merendahkan diri di Hadapan-Nya.
Pada suatu hari Jum‘at tahun kedua Hijrah, mulailah pertempuran antara kaum Musyrikin dengan kaum Muslimin. Memulai pertempuran ini, Rasulullah saw mengambil segenggam kerikil kemudian dilemparkannya ke arah kaum Quraisy seraya berkata : “Hancurlah wajah-wajah mereka”, kemudian meniupkannya ke arah mereka sehingga menimpa mata semua pasukan Quraisy. Selain itu, Allah swt juga mendukung kaum Muslimin dengan mengirim bala bantuan Malaikat. Akhirnya peperangan dimenangkan oleh kaum Muslimin dengan suatu kemenangan yang besar. Dari pihak kaum Musyrikin , terbunuh 70 orang dan yang tertawan 70 orang. Sedangkan dari pihak kaum Muslimin gugur mencapai syahid 14 orang.
Mayat-mayat kaum Musyrikin yang tebunuh dalam peperangan ini termasuk para tokoh mereka dilemparkan ke dalam sumur tua di Badr. Ketika mayat-mayat itu dilemparkan ke dalamnya, Rasulullah saw berdiri di mulut perigi itu seraya memanggil nama-nama mereka berikut nama bapak-bapaknya : “Wahai Fulan bin Fulan bin Fulan, apakah kalian telah berbahagia karena kalian mentaati Allah swt dan Rasul-Nya? Sesungguhnya kami telah menerima kebenaran janji Allah swt, yang diberikan kepada kami, apakah kalian juga telah menyaksikan kebenaran yang dijanjikan Allah swt kepada kalian?”
Mendengar itu, Umar ra bertanya : “Ya,Rasulullah kenapa anda mengajak bicara jasad yang sudah tidak bernyawa ?“ Beliau menjawab : “Demi Dzat yang diri Muhammad berada di tangann-Nya, kalian tidak lebih mendengar perkataanku daripada mereka”. Kemudian Rasulullah saw meminta pendapat para sahabatnya, berkenaan dengan masalah tawanan. Abu Bakar ra, mengusulkan supaya Nabi saw membebaskannya dengan mengambil tebusan dari mereka sehingga harta tebusan itu diharapkan menjadi pemasok kekuatan material bagi kaum Muslimin, disertai harapan mudah-mudahan Allah swt menunjuki mereka. Sementara Umar Bin Khathab ra, mengusulkan supaya mereka dibunuh saja, karena mereka adalah tokoh dan gembong kekafiran. Tetapi Nabi saw cenderung kepada pendapat dan usulan Abu Bakar ra yang memberikan belas kasihan kepada mereka dan mengambil tebusan.
Akhirnya pendapat ini pun dilaksanakan oleh Nabi saw. Tetapi beberapa ayat Al-Quran kemudian diturunkan menegur kebijaksanaan Nabi saw dan mendukung pendapat Umar. Firman Allah : “Tidak patut bagi seornag Nabi mempunyai tawanan ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi …” Sampai dengan firman Allah swt : “Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu …” QS Al-Anfal (8) : 67-69.
Beberapa Ibrah :
Perang Badr Kubra ini mengandung beberapa pelajaran dan ibrah yang sangat penting, di samping mengandung mu‘juzat besar berkenaan dengan dukungan dan pertolongan Allah swt kepada kaum Muslimin yang berpegang teguh kepada prinsip-prinsip keimanan mereka dan keikhlasan dalam melaksanakan tanggung jawab agama mereka.
1.      Sebab pertama bagi terjadinya perang Badr ini menunjukkan bahwa motif utama kaum Muslimin keluar bersama Rasulullah saw. bukan untuk berperang, tetapi karena didorong oleh tujuan mencegat kafilah Quraisy yang datang dari Syam di bawah kawalan Abu Sofyan. Tetapi kemudian Allah swt menghendaki ghanimah (rampasan perang) dan kemenangan yang lebih besar bagi para hambah-Nya, disamping merupakan tindakan yang lebih mulia dan lebih sesuai dengan sasaran yang harus dicapai oleh setiap Muslim dalam kehidupannya. Allah swt meloloskan kafilah yang menjadi tujuan utama mereka, dan menggantikannya dengan peperangan yang sama sekali tidak pernah mereka duga.
Peristiwa ini menunjukkan dua hal :
a.       Pertama,
Bahwa semua harta kekayaan kaum kafir harbi oleh kaum Muslimin dianggap sebagai harta yang tidak mulia. Boleh dirampas dan dikuasai oleh kaum Muslimin manakala mereka mampu mengambilnya. Apa saja yang telah jatuh ke tangan kaum Muslimin dianggap telah menjadi milik mereka. Hukum ini telah disepakati oleh para fuqaha. Di samping itu, kaum Muhajirin yang telah diusir dari negeri mereka di Mekkah mempunyai alasan lain untuk merampas kafilah Quraisy, yaitu usaha pengambilan hak ganti rugi dari harta kekayaan mereka yang masih tertinggal di Mekkah dan dikuasai oleh kaum Musyrikin.
b.      Kedua,
Kendatipun tindakan ini dibolehkan, tetapi Allah menghendaki kepada hamba-Nya yang beriman suatu tujuan yang lebih mulia dari pada tindakan tersebut dan lebih sesuai dengan tugas yang menjadi sasaran penciptaan mereka, yaitu berdakwah kepada agama Allah swt. Jihad di jalan Allah swt dan berkorban dengan nyawa dan harta demi meninggikan kalimat Allah swt. Itulah sebabnya, kemudian Abu Sofyan berhasil lolos bersama kafilahnya dari kaum Muslimin. Sementara itu pasukan Quraisy menderita kekalahan besar di medan jihad yang berkecamuk antara kaum Muslimin dan kaum Musyrikin. Hal ini merupakan tarbiyah Illahiyah bagi kaum Muslimin yang dengan jelas nampak tergambar dalam firman Allah swt : “Dan (ingatlah), ketika Allah swt, menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar (membuktikan kebenaran) dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir”. QS al-Anfal (8) : 7.
2.      Kalau kita perhatikan bagaimana Rasulullah saw duduk bersama para sahabatnya untuk meminta pandangan mereka dalam menghadapi masalah yang mendadak (perang), setelah kafilah lolos dari mereka dan muncul cebagai gantinya pasukan berkekuatan senjata, maka dapat dicatat dua pelajaran yang sangat penting.
a.       Pertama,
Komitmen Rasulullah saw kepada prinsip musyawarah dengan para sahabatnya. Jika kita telusuri kehidupan Rasulullah saw akan kita temukan bahwa Nabi saw selalu berpegang teguh kepada prinsip syuro ini dalam menghadapi semua masalah yang tidak ditandaskan secara tegas oleh wahyu Allah swt, khususnya maslah-masalah yang berkaitan dengan tadbir (perencanaan) dan siyasah syariyah (kebijaksanaan). Oleh sebab itu, kaum Muslimin menyepakai bahwa syuro, dalam masalah yang tidak ditegaskan oleh nash al-Quran dan as- Sunnah, adalah merupakan prinsip perundang-undangan yang tidak boleh diabaikan. Adapun seandainya manyangkut masalah yang sudah ditegaskan oleh al-Quran atau Hadits, maka tidak diperlukan lagi adanya syura dan bahwa tidak dikalahkan oleh kekuatan apa pun.
b.      Kedua,
Bahwa kondisi-kondisi peperangan atau perjanjian antara kaum Muslimin dengan ummat lain, boleh tunduk kepada apa yang disebut dengan siyasah syariyah (kebijaksanaan) atau hukum al-Imamah (keputusan pemimpin). Sebagai penjelasannya bahwa, pensyariatan perdamaian dan perjanjian ini tidak boleh dibatalkan atau dicabut dari hukum syariat Islam. Tetapi bagian18 bagian dari bentuk-bentuk pelaksanaannya yang beraneka ragam itu boleh disesuaikan dengan situasi jaman, tempat dan kondisi kaum Muslimin dan musuh mereka. Pengambilan kebijaksanaan ini pun hanya dilakukan oleh seorang Imam yang memiliki pandangan yang akurat, adil, berpegang teguh kepada nilai-nilai agama, dan kebijaksanaan yang bersumber dari penguasaan agama yang mendalam serta dilakukannya secara ikhlas, di samping harus tetap melakukan syura dengan kaum Muslimin dan memanfaatkan berbagai pengalaman dan kemampuan mereka. Jika seorang pemimpin pemerintahan (negara Islam) berpendapat bahwa sebaiknya kaum Muslimin tidak menghadapi musuh mereka dengan kekuatan dan perang, yang pendapatnya ini dikaji dengan cermat dan disepakati oleh Majlis syura maka dia boleh memilih sikap damai dengan mereka (musuh). Sikap ini tidak bertentangan dengan nash-nash syariat yang telah ditetapkan sambil menunggu situasi yang tepat dan cocok untuk melakukan peperangan dan melancarkan jihad. Sebagaimana dia (Imam) boleh menggerakkan rakyatnya untuk melakukan peperangan manakala dia memandang baik untuk melakukannya.
Demikianlah kesepatakan yang telah dibuat oleh para Fuqaha dan sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam Sirah Nabi saw. Kecuali jika musuh menyerang kaum Muslimin di dalam negeri mereka, maka kaum Muslimin wajib melawannya dengan mengerahkan segenap kekuatan apapun situasi dan sarana yang mereka miliki. Bahkan kewajiban ini berlaku bagi semua kaum Muslimin baik lelaki maupun wanita yang memenuhi syarat-syarat taklif (pembebanan yang diembankan sesuai dengan persyaratan).
Disamping itu, sebagian Fuqaha menetapkan bahwa, syura ini diwajibkan tetapi seorang penguasa (pemimpin pemerintahan) tidak harus mengambil pendapat mayoritas seandainya pendapat mereka bertentangan dengan pendapatnya. Mengenai hal ini al-Qurthuby berkata : “Orang yang meminta pendapat harus memperhatikan berbagai pendapat yang dilontarkan dan mencari yang paling dekat kepada al-Quran dan as-Sunnah jika memungkinkannya. Jika Allah swt, menunjukkannya kepada pendapat lain yang ia kehendaki maka ia boleh memutuskan dan melaksanakannya seraya bertawakal kepada Allah swt.
3.      Barangkali timbul pertanyaan; mengapa jawaban Abu Bakar, Umar dan al-Miqdad belum memuaskan hati Rasulullah saw.  Tetapi masih terus memandang ke arah mereka sampai Sa‘d bin Mu‘adz berbicara kemudian barulah hati Rasulullah saw merasa puas? Jawabannya bahwa Nabi saw hanya ingin mengetahui pendapat kaum Anshar dalam masalah tersebut. Apakah mereka akan mengemukakan pendapat dan keputusan yang didasarkan kepada mu‘ahadah (janji setia) diantara mereka dengan Rasulullah saw , yakni janji setia yang bersifat khusus dan harus ditaati, yang dengan demikian berarti Nabi saw tidak punya hak untuk memaksa mereka berperang bersamanya dan memberikan pembelaan terhadapnya.
Kecuali di dalam kota Madinah, sebagiamana dinyatakan pada butir janji setia tersebut. Ataukah mereka akan mengemukakan pendapat berdasarkan rasa ke-Islaman mereka dan mu‘ahadah kubra (janji setia besar) mereka terhadap Allah? Atas dasar ini, berarti Nabi saw memiliki hak untuk menjadi penerima amanah diantara mereka guna melaknsakan mu‘ahadah kubra tersebut dan adalah kewajiban mereka memenuhi hak-hak mu‘ahadah ini serta melaksanakan tanggung-jawabnya secara sempurna.
Mengamati jawaban Sa‘d bin Mu‘adz, dapatlah diketahui bahwa mubaya‘ah (bai’at/janji setia) kaum Anshar yang diberikan kepada Rasulullah saw di Mekkah sebelum Hijrah, tidak lain justru merupakan mubaya‘ah kepada Allah swt. Mereka tidak pernah beranggapan lain, ketika memberikan pembelaan kepada Rasulullah saw setelah berhijrah kepada mereka, kecuali sebagai pembelaan terhadap agama dan syariat Allah swt.
Persoalannya bukan sekedar menyangkut nash-nash (butir-butir) tertentu yang telah mereka sepakati bersama Rasulullah saw, sehingga mereka tidak mau komit dengan hal-hal di luar butir-butir yang telah dibuat, tetapi persoalannya bahwa dengan mubaya‘ah itu berarti mereka telah menandatangai suatu perjanjian yang dimuat oleh firman Allah swt : “Sesungguhnya Allah swt, telah membeli dari orang-orang yang beriman (Mukmin) diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah swt, lalu mereka membunuh atau terbunuh (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah swt di dalam Taurat, Injil dan al-Quran. Siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah swt? Bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu. Itulah kemenangan yang besar”. QS At-Taubah (9) : 111
Oleh sebab itu Sa‘d bin Mu‘adz menjawab dengan ucapannya : “Kami telah beriman kepada Anda dan kamipun membenarkan kenabian dan kerasulan anda. Kami juga telah menjadi saksi bahwa apa yang anda bawa adalah kebenaran. Atas dasar itu kami telah menyatakan janji dan kepercayaan kami untuk taat dan setia kepada anda. Jalankanlah apa yang anda kehendaki, kami tetap bersama anda (yakni tetap berjalan bersama anda sesuai dengan perjanjian yang lebih besar daripada perjanjian yang telah kita sepakati di Bai‘at Aqabah pertama …”
4.      Dalam melaksanakan jihad dan lainnya, Imam dibolehkan menggunakan “intel” (spionase, mata-mata) yang disebarkan di kalangan musuh guna membongkar dan mengetahui perencanaan dan kondisi kekuatan mereka. Untuk melaksanakan tujuan ini dibolehkan menggunakan beraneka ragam sarana, asalkan tidak merusak kepentingan yang lebih besar ketimbang kepentingan mengetahui kondisi lawan. Mungkin sarana itu berupa kerahasiaan atau semacam siasat dan tipu daya peperangan. Semua ini dibolehkan dan baik karena merupakan sarana yang diperlukan untuk kemaslahatan kaum Muslimin dan pemeliharaan mereka.
Disebutkan di dalam buku-buku Sirah, bahwa ketika Nabi saw turun di dekat badr, beliau bersama seorang sahabatnya naik unta dan bertemu dengan seorang tua (syaikh) dari Arab, kemudian Nabi saw bertanya kepadanya tentang pasukan Quraisy dan Muhammad beserta para sahabatnya. Orang tua itu bertanya : “Aku tidak akan menyampaikan berita kepada kalian berdua sebelum kalian menjelaskan kepadaku siapa kalian berdua ini?” Nabi saw berkata ; “Kami akan menjelaskan setelah anda memberikan berita kepada kami”. Orang tua itu menyahut : “Apakah ini ditukar dengan itu?” Jawab Nabi saw “..Ya“. Kemudian orang tua itu menjelaskan kepada Nabi saw apa yang diketahuinya tentang kaum Musyrikin dan tentang Nabi saw beserta para sahabatnya. Setelah selesai menjelaskan, orang tua itu bertanya “Sekarang siapakah kalian berdua ini?” Nabi saw menjawab : “Kami dari air”. Kemudian Nabi saw meninggalkannya, akhirnya orang tua itu bertanya-tanya : “Dari air mana? “Apakah dari air Iraq?”.
5.      Pembagian Tindakan Nabi saw
Dialog yang berlangsung antara Nabi saw dan Habbab bin Mundzir (hadits sanadnya shahih) tentang penempatan pasukan, menunjukkan bahwa tindakan-tindakan Nabi saw tidak semuanya bernilai tasyri‘ (menjadi syariat). Bahkan dalam banyak hal Nabi saw sering bertindak dalam statusnya sebagai manusia biasa yang berpikir dan membuat perencanaan. Tidak diragukan lagi bahwa, kita tidak diwajibkan selalu mengikuti Nabi saw dalam tindakan-tindakan beliau ini.
Di antaranya ialah tindakan Nabi saw dalam menentukan tempat dalam peperangan ini. Seperti telah kita ketahui bahwa Habbab mengusulkan supaya Nabi saw pindah ke tempat lain dan Nabi saw pun menyetujuinya. Usulan Habbab itu dikemukakan kepada Nabi saw setelah mendapatkan penegasan bahwa pilihan Nabi saw terhadap termpat tersebut bukan atas perintah wahyu Allah swt.
Banyak tindakan Nabi saw yang masuk ke dalam kategori siyasah syari’ah (kebijaksanaan) sebagai Imam dan kepala Negara bukan sebagai Rasul yang menyampaikan wahyu dari Allah. Seperti dalam hal pemberian dan perencanaan-perencanaan militernya. Masalah ini oleh para Fuqaha dibahas secara detail  yang tidak mungkin kami kemukakan dalam kesempatan ini.

6.      Pentingnya Merendahkan Diri Kepada Allah dan Meminta dengan Sangat Kepada-Nya.
Seperti telah kita ketahui bahwa Nabi saw menenangkan hati para sahabatnya dengan menegaskan bahwa kemenangan berada di pihak kaum Muslimin , sampai-sampai Nabi saw menunjuk ke beberapa tempat di tanah seraya berkata : “Ini adalah tempat kematian si Fulan”. Dan sebagaimana disebutkan oleh Hadits shahih, nama-nama yang disebutkan Nabi saw itu roboh terbunuh tepat di tempat yang telah ditunjukannya.
Sekalipun demikian, Nabi saw tetap berdiri sepanjang malam Jum‘at itu di dalam kemah yang dibuat khusus bagi beliau, memanjatkan do’a kepada Allah swt dengan penuh khusyuk dan merendah diri seraya menengadahkan kedua telapak tangannya ke langit memohon kepada Allah swt agar pertolongan yang dijanjikan-Nya ditunaikan. Dalam munajat ini bahkan Nabi saw sampai tidak menyadarai kalau selendangnya terjatuh, sehingga Abu Bakar merasa kasihan terhadapnya kemudian memberanikan diri berkata kepada Nabi saw : “Cukup Ya Rasulullah saw, sesungguhnya Allah swt pasti akan menunaikan janji-Nya yang telah diberikan kepadamu”.
Mengapa Nabi saw sampai merendahkan dirinya sedemikian rupa di hadapan Allah swt, padahal beliau telah yakin akan mendapatkan pertolongan sampai beliau menyatakan : “Seolah-olah aku melihat tempat kematian mereka”. Bahkan Nabi saw menentukan beberapa tempat kematian mereka di tanah. Jawabannya bahwa keyakinan dan keimanan Nabi saw terhadap kemenangan hanyalah merupakan pembenaran kepada janji yang telah diberikan Allah swt kepada Rasul-Nya. Tidak diragukan lagi bahwa Allah swt tidak akan menyalahi janji atau mungkin nabi saw diberi kabar kemenangan itu di tengah peristiwa tersebut.
Adapun kekhusyu‘kan Nabi saw dalam berdo’a dan menengadahkan kedua telapak tangannya ke langit, maka hal itu sudah menjadi tugas ubudiyah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Dan itulah harga kemenangan secara kontan, kemenangan itu tiada lain betapapun didukung oleh sarana dan perjuangan yang baik hanyalah berasal dari Allah swt dan dengan persetujuan-Nya. Allah swt tidak menginginkan kita kecuali untuk menjadi hamba-Nya yang baik secara tabii atau ikhtiari (terpaksa atau tidak). Tiadka ada sesuatu yang lebih besar untuk mendekatkan diri kepada Allah swt , kecuali sikap ‚uudiyah kepada-Nya. Tidak ada perantara yang lebih diterima oleh Allah swt selain daripada perendahandiri , sedemikian rupa melalui ubudiyah di hadapan Allah swt.
Segala bentuk musibah dan bencana yang menimpa manusia dalam kehidupan ini tiada lain hanyalah merupakan peringatan yang menyadarkannya terahadap kewajiban, ‘ubudiyah kepada Allah swt dan mengingatkannya kepada Keagungan dan Kekuasaan Allah swt Yang Maha Besar. Agar manusia lari menuju Allah swt yang menyatakan segala kelemahannya di hadapan Allah swt serta memohon perlindungan kepada-Nya dari segala fitnah dan cobaan. Apabila manusia telah menyadari hakekat ini dan menghayati maka dia telah sampai kepada puncak yang diperintahkan Allah swt kepada semua hamba-Nya.
‘Ubudiyah yang tercermin dalam kekhusyu‘an do’a Nabi saw meminta kemenangan kepada Allah swt merupakan harga yang berhak mendapatkan dukungan Ilahi Yang Maha Agung di dalam pertempuran tersebut. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh ayat berikut : “(ingatlah) ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabb-mu lalu diperkenankan-Nya bagimu,“Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang secara bergelombang”.  QS Al-Anfal : 9
Kemantapan Rasulullah saw melalui ‘ubudiyah inilah yang membuat Rasul saw yakin akan datangnya kemenangan bagi kaum Muslimin. Bandingkanlah sikap ‘ubidiyah yang ditunjukkan Nabi saw ini beserta hasil-hasilnya itu dengan sikap congkak dan sombong yang ditunjukkan oleh Abu Jahal ketika berkata : “Kami tidak akan pulang sebelum tiba di Badr. Disana kami akan memotong ternak, makan beramai-ramai dan minum arak sambil menyaksikan perempuan-perempuan yang menyanyikan lagu-lagu hiburan. Biarlah semua orang Arab mendengar berita tentang perjalanan kita semua dan biarlah mereka tetap gentar kepada kita selama-lamanya” beserta segala akibat yang ditimbulkannya.
‘Ubudiyah dan kepatuhan kepada Allah swt , menghasilkan izzah dan kemuliaan yang membuat wajah dunia tertunduk kepadanya. Sementara itu kecongkakan dan kesombongan merupakan kepalsuan dan pusara kehinaan yang digali oleh dan untuk para pemilik sifat dan sikap tersebut. Kuburan tempat dimana mereka akan dituangi khamar, kehinaan dan digendongi lagu-lagu kenistaan. Itulah sunatullah yang berlaku di alam ini, manakala ‘ubudiyah yang murni kepada Allah swt  bertemu dan berhadapan dengan kecongkakan dan kesombongan.

7.      Bala Bantuan Malaikat pada Perang Badr
Perang Badr mencatat salah satu mukjizat terbesar yaitu mukjizat dukungan dan kemenangna kaum Muslimin yang sejati. Dalam peperangan ini Allah swt telah mendukung kaum Mulsimin dengan mengirim malaikat yang ikut berperang bersama mereka. Hakekat ini telah disebutkan secara tegas oleh al-Quran dan as-Sunnah.
Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa Nabi saw pingsan beberapa saat di dalam kemahnya kemudian sadar kembali lalu berkata kepada Abu Bakar : “Hai Abu Bakar, gembiralah! pertolongan Allah swt telah datang kepadamu. Itulah Jibril memegang tali kekang dan menuntun kudanya”.
Turunnya para malaikat untuk berperang bersama kaum Muslimin hanyalah merupakan peneguhan hati kaum Muslimin dan jawaban secara empirik (istijabah hissiyah) terhadap istiqasah (permohonan pertolongan) demi menghadapi peperangan pertama di jalan Allah swt melawan musuh yang jumlahnya tiga kali lipat lebih banyak. Sesungguhnya kemenangan itu semata-mata datangnya dari Allah swt. Para Malaikat itu sendiri tidak memiliki pengaruh secara langsung (ta‘sir dzati). Sebagai penjelasan terhadap masalah inilah maka Allah swt berfirman menjelaskan turunnya malaikat : “Dan Allah swt tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan malaikat) melainkan sebagai kabar gembira agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanylaah dari sisi Allah swt. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. QS Al-Anfal : 10
8.      Kehidupan Barzakh bagi Orang Mati
Berdirinya Rasulullah saw di mulut sumur seraya menyebut dan memanggil nama mayat-mayat kaum Musyrikin dan mengajaknya berbicara, juga jawaban Rasulullah saw terhadap pertanyaan Umar ra pada saat itu merupakan dalil yang tegas bahwa orang-orang yang sudah meninggal memiliki kehidupan ruhani secara khusus, kita tidak mengetahui hakekat dan kaifiatnya. Juga menunjukkan bahwa ruh-ruh orang-orang yang telah meninggal tetap berada di sekitar jasad mereka. Dari sinilah kita dapat menggambarkan adanya siksa kubur dan kenikmatannya. Hanya saja tidak dapat diketahui oleh akal dan indera kita di dunia ini. Karena kehidupan ruhani tersebut (alam ghaib) yang tidak dapat dijangkau oleh indera dan pengalaman rasio yang bersifat empirik. Mengimaninya adalah merupakan jalan satusatunya untuk bisa menerima hakekat ini, setelah semua dalil-dalilnya sampai kepada kita melalui sanad yang shahih.
9.      Masalah Tawanan Perang
Menyangkut masalah tawanan perang dan musyawarah Rasulullah saw dengan para sahabtnya , merupakan pembahasan yang sarat oleh pelajaran penting, antara lain :
a.       Pertama,
Tawanan dan Ijtihad Rasulullah saw. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Nabi saw mempunyai hak berijtihad. Pendapat ini dikemukakan oleh Jumhur ulama ushul. Jika Rasulullah saw punya ijtihad maka berarti ijtihad beliau bisa benar dan salah. Hanya saja kesalahan ijtihad Rasulullah saw tidak akan berkepanjangan karena beliau selalu dikoreksi langsung oleh al-Quran. Jika tidak ada ayat al- Quran yang menegurnya berarti ijtihad Rasulullah saw benar dalam Pengetahuan Allah swt.
b.      Kedua,
Perang dan Perampasan. Sebagaimana dimaklumi bahwa selan perang Badr merupakan pengalaman pertama bagi kaum Muslimin dalam hal perang-campuh yang menyita banyak pengorbanan di jalan Allah swt, dalam kondisi mereka yang sangat lemah dan sedikit, ia pun merupakan pengalaman pertama pula bagi kaum Muslimin dalam menangani maslah harta rampasan yang diperoleh menyusul pertempuran yang terjadi dalam kondisi mereka yang miskin dan sangat memerlukan.
Pada kasus pertama (pengalaman perang dalam kondisi serba lemah) Allah swt mengatasinya dengan meneguhkan hati kaum Muslimin seperti telah disebutkan melalui hal-hal luar biasa yang menjadi indikasi kemenangan. Sedangkan pada kasus kedua (pengalaman kekuarangan) Allah swt mengobatinya melalui berbagai sarana tarbiyah secara cermat dantepat pada waktunya. Pengaruh pengalaman ini tampak dengan jelas dalam dua peristiwa yang terjadi sesudah peperangan. Pertama ketika kaum Musyrikin berhasil dikalahkan sehingga meninggalkan harta benda mereka yang beraneka ragam. Harta kekayaan ini menjadi ajang rebutan di kalangan kaum Muslimin sehingga nyaris terjadi persengketaan.
Karena hukum tentang pembagian harta rampasan belum diturunkan maka mereka pergi menemui Rasulullah saw menanyakan dan meminta keputusan terhadap perselisihan yang terjadi. Pada saat itu turunlah firman Allah swt : “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah.“ Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah, Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu serta taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.“ Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut asma Allah gemetarlah hati mereka, dan apabia dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb-lah mereka bertawakal”.  QS Al-Anfal : 1-2.
Di dalam kedua ayat ini tida terdapat jawaban bagi pertanyaan mereka, tetapi justru memalingkan mereka dari masalah yang mereka tanyakan karena harta rampasan perang itu bukan milik salah seorang pun di antara mereka, melainkan semata-mata milik Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, mereka harus memperbaiki dan menyelesaikan pertentangan yang terjadi diantara mereka, mentaati perintah-perintah Allah swt, dan menjauhi laranganlarangan- Nya. Itulah tugas mereka. Adapun soal harta dan dunia maka harus diserahkan kepada Allah swt sepenuhnya. Setelah kaum Muslimin mengikuti dan melaksanakan kandungan kedua ayat tersebut serta mengakhiri pertentangan dan perselisihan yang menetapkan cara pembagian harta rampasan perang kepada para Mujahidin. Ini merupakan sarana tarbiyah yang sangat tepat dan baik.
Kasus kedua yaitu ketika Rasulullah saw meminta pendapat dari pada sahabatnya mengenai tawanan perang. Hampir semua sahabat menyetujui pembebasan para tawanan dengan penebusan. Pertimbangan mereka ialah, pertama menunjukkan rasa belas kasih kepada para tawanan dengan harapan mereka akan tergugah untuk beriman kepada Allah.
Kedua sebagai ganti dari harta kaum Muhajirin yang tertinggal di Mekkah dengan harapan akan dapat membantu memperbaiki kondisi ekonomi mereka. Kecenderungan Rasulullah saw kepada pendapat ini menunjukkan rasa belas kasih Rasulullah saw kepada para sahabatnya. Perasaan belas kasih inilah yang mendorong Nabi saw untuk mengangkat kedua tangannya memanjatkan do’a buat kaum Muhajirin ketika beliau melihat mereka berangkat menuju Badr dalam kondisi yang serba kekurangan : “Ya, Allah mereka berjalan tanpa alas kaki, maka ringankanlah langkah mereka. Ya Allah mereka kekurangan pakaian, anugerahkanlah mereka pakaian. Ya Allah mereka itu lapar, maka kenyangkanlah mereka”.
Tetapi hikmah ilahiyah tidak menyetujui kaum Muslimin menjadikan harta benda sebagai ukuran atau bagian dari ukuran dalam memutuskan perkara-perkara mereka yang terbesar yang harus semata-mata didasarkan kepada pandangan agama betapapun kondisi yang dihadapi. Sebab, jika pandangan materialistik itu dibiarkan pada saat mereka menghadapi pengalaman pertama dalam masalah seperti itu, dikhhawatirkan dal tersebut akan menjadi kaidah yang baku. Sehingga pertimbangan materialistik tersebut akan menghancurkan hukum-hukum yang harus tetap bersih tidak tercampuri oleh tujuan-tujuan duniawi. Adalah susah bagi orang yang telah jauh tenggelam ke dalam lumpur dunia untuk kembali membebaskan diri dari liputannya.
Imam Muslim meriwayatkan dari Umar bin Khathab ra, ia berkata : “Aku masuk menemui Rasulullah saw setelah beliau memutuskan penebusan tawanan. Tiba-tiba aku dapati Rasulullah saw bersama Abu Bakar ra sedang menangis. Aku bertanya, Wahai Rasulullah saw ceritakanlah kepadaku kenapakah anda dan sahabat anda menagis? Jika aku dapati alasan untuk menangis maka aku akan menangis. Jika tidak ada alanan untuk menangis maka aku akan memaksakan diir untuk menangis karena tangis anda berdua. Jawab Rasulullah saw : “Aku menangis karena usulan pengambilan tebusan yang diajukan oleh pada sahabatmu kepadaku, padahal siksa mereka telah diajukan kepadaku lebih dekat dari pohon ini (pohon di dekat Nabi saw). Kemudian Allah menurunkan firman-Nya : “Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi..”, sampai firman Allah : “Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu ….”. [2]
B.     Banu Qainuqa‘
Banu Qainuqa‘ (Pengkhianatan Pertama Kaum Yahudi terhadap Kaum Muslimin). Ibnu Ishaq berkata : Pada suatu kesempatan Rasulullah saw mengumpulkan Banu Qunaiqa‘ di pasar Qunaiqa‘ kemudian bersabda : “Wahai kaum Yahudi, takutlah kalian kepada murka Allah yang pernah ditimpahkan-Nya kepada kaum Quraisy. Masuklah kalian ke dalam Islam karena sesungguhnya kalian telah mengetahui bahwa aku adalah Nabi yang diutus (Allah), sebagaimana kalian dapati di dalam Kitab kalian dan Janji Allah kepada kalian!” Jawab mereka : “Wahai Muhammad, apakah kamu mengira kami ini seperti kaummu? Janganlah kamu membanggakan kemenangan terhadap suatu kaum yang tidak mengerti ilmu peperangan. Demi Allah, seandainya kami yang kamu dapati dalam peperangan, niscaya kamu akan mengetahui siapa sebenarnya kami ini!”.
Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Abdullah bin Ja‘far bin al-Musawwir bin Makhramah dari Abu Uwaha bahwa, seorang wanita Arab datang membawa perhiasannya ke tempat perdagangan Yahudi Bani Qainuqa‘. Ia mendatangi seorang tukang sepuh untuk menyepuhkan perhiasannya. Ia kemudian duduk menunggu sampai tukang sepuh Yahudi itu menyelesaikan pekerjaannya. Tiba-tiba datanglah beberapa orang Yahudi berkerumun mengelilinginya dan minta kepada wanita Arab itu, secara diam-diam si tukang sepuh itu menyangkutkan ujung pakaiannya yang menutup seluruh tubuhnya pada bagian punggungnya.
Ketika wanita itu berdiri terbukalah aurat bagian belakangnya. Orang-orang Yahudi yang melihatnya tertawa gelak-bahak. Wanita itu menjerit minta pertolongan. Mendengar teriakan itu, salah seorang dari kaum Muslimin yang berada di perniagaan itu secara kilat menyerang tukang sepuh Yahudi dan membunuhnya. Orang-orang Yahudi yang berada di tempat itu kemudian mengeroyoknya hingga orang Muslim itu pun mati terbunuh. Tindakan orang-orang Yahudi yang membunuh orang Muslim itu menyebabkan kemarahan kaum Muslimin, sehingga terjadilah peperangan antara kaum Muslimin dengan orang-orang Yahudi Banu Qunaiqa‘.
Dengan demikian, mereka adalah kaum Yahudi pertama kali melanggar perjanjian yang diadakan di antara mereka dengan Nabi saw. Insiden ini menurut riwayat ath-Thabary dan al-Waqidy, terjadi pada pertengahan bulan Syawawal tahun kedua Hijrah. Kemudian Rasulullah saw mengepung mereka selama beberapa hari hingga mereka menyerah dan menerima hukuman yang akan diputuskan oleh Rasulullah saw. Setelah mereka berada di bawah kekuasaan beliau, datanglah Abdullah bin Ubay lalu berkata : “Hai Muhammad, perlakukanlah para sahabatku itu dengan baik.“
Permintaan Abdullah bin Ubay itu tidak diindahkan oleh Rasulullah saw. Abdullah bin Ubay mengulangi lagi permintaannya, tetapi beliau saw berpaling muka sambil memasukkan tangannya ke dalam baju besinya. Wajah beliau tampak marah, hingga raut wajahnya tampak merah padam. Beliau mengulangi kembali ucapannya sambil memperlihatkan kemarahannya : “Celaka engkau, tinggalkan aku!“. Abdullah bin Ubay menyahut : “Tidak, demi Allah, aku tidak akan melepaskan anda sebelum anda mau memperlakukan para sahabatku itu dengan baik. Empat ratus orang tnapa perisai dan tiga ratus orang bersenjata lengkap telah membelaku terhadap semua musuhku itu, apakah hendak anda habisi nyawanya dalam waktu sehari? Demi Allah, aku betul-betul mengkhawatirkan terjadinya bencana itu!“. Rasulullah saw akhirnya berkata : “Mereka itu kuserahkan padamu dengan syarat mereka harus keluar meninggalkan Madinah dan tidak boleh hidup berdekatan dengan kota ini.“
Orang-orang Yahudi Banu Qainuqa‘ itu kemudian pergi meninggalkan Madinah menuju sebuah pedusunan bernama Adzara‘at di daerah Syam. Belum berapa lama tinggla disana, sebagian besar dari mereka mati ditimpa bencana. Sebagai seorang Muslim yang memiliki hubungna “persekutuan“ dengan orang-orang Yahudi Banu Qainuqa‘, sebagaimana Abdullah bin Ubay, maka ‘Ubadah bin Shamit pun datang menemui Rasulullah saw lalu berkata : “Sesungguhnya aku memberikan loyalitas kepada Allah swt, Rasul-Nya dan kaum Mukminin, dan aku melepaskan diriku dari ikatan persekutuan dengan orang-orang kafir tersebut.“
Sehubungan dengan kedua orang (Abdullah bin Ubay dan ‘Ubadah bin Shamit) inilah Allah menurunkan firman-Nya : “Hai orang-ornag yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu), sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Siapa saja diantara kamu mengambil mereka menjadi pimpinan, sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafiq) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani) seraya berkata : “Kami takut akan mendapat bencana“. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Oleh sebab itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.“ QS Al-Maidah (5) : 51-52
Beberapa Ibrah :
Peristiwa ini secara keseluruhan menunjukkan watak pengkhianatan orang-orang Yahudi. Mereka tidak pernah putus sebelum dapat mengkhianati orang-orang yang bertetangga atau bergaul dengan mereka. Dengan menghalalkan segala cara mereka siap melaksanakan pengkhianatan. Dengan peristiwa ini terdapat beberapa pelajaran dan prinsip di antaranya :
1.      Hijab (Cadar) Wanita Muslimah
Seperti kita ketahui bahwa biang keladi peristiwa (pengusiran Yahudi Banu Qainuqa‘) ini berawal justru gara-gara ulah mereka sendiri, yaitu membuat onar dengan cara berusaha memaksa untuk membuka tutup muka wanita Muslimah ketika wanita tersebut datang ke pasar mereka untuk menyepuhkan perhiasannya. Sumber terjadinya peristiwa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam ini tidak bertentangan dengan riwayat lain yang menyebutkan bahwa sebab timbulnya peristiwa ini ialah kedengkian orang-orang Yahudi terhadap kemenangan kaum Muslimin di perang Badr sehingga mereka berkata kepada Rasulullah saw : “demi Allah, seandainya kami yang kamu hadapi dalam peperangan, niscaya kamu akan mengetahui siapa sebenarnya kami ini?“ Kemungkinan dua sebab tersebut memang terjadi kedua-duanya bahkan yang satu saling menyempurnakan yang lainnya.
Karena tidak mungkin Rasulullah saw melakukan pembatalan perjanjian dengan mereka hanya karena munculnya tanda-tanda pengkhianatan dalam perkataan mereka. Di samping itu, pasti mereka telah melakukan tindakkan-tindakkan pengkhiantan kepada kaum Muslimin sebagaimana dinyatakan oleh riwayat Ibnu Hisyam tersebut.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa hijab yang disyariatkan oleh Islam kepada wanita ialah dengan menutup muka. Seandainya tidak demikian, niscaya wanita tersebut tidak perlu ke luar rumah dengan menutup mukanya. Seandainya menutup muka bagi kaum Muslimah bukan menjadi hukum agama yang diperintahkan Islam, niscaya orang-orang Yahudi itu tidak akan memaksa wanita Arab tersebut untuk membuka tutup mukanya. Sebab dengan tindakan ini mereka hanya bermaksud menodai perasaan keagamannya yang secara jelas-jelas Nampak dalam pakaiannya.
Mungkin ada orang membantah bahwa peristiwa yang hanya diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam ini terdapat sedikit kelemahan dalam periwayatannya, sehingga tidak kuat untuk menetapkan hukum seperti ini. Tetapi riwayat ini ternyata juga dikuatkan oleh sejumlah Hadits Shahih, di antaranya : Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah ra, dalam Bab Pakaian Bagi Orang Yang Ihram, ia berkata : “Janganlah ia (wanita yang sedang berikhram) menutup muka dengan cadar dan memakai pakaian yang dicelup dengan waras (wewangian) atau za‘faran“.
Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Malik di dalam al-Mawaththa dari Nafi‘ bahwa Abdullah bin Umar pernah berkata : „Tidak boleh wanita yang sedang ihram memakai cadar muka, begitu pula memakai sarung tangan.“
Apa arti larangan memakai cadar (tutup muka) bagi wanita yang sedang melakukan ihram di waktu melaksanakan haji ? Mengapa larangan ini khusus bagi wanita saja, tidak termasuk lelaki? Tidak diragukan lagi bahwa larangan atau pengecualian ini menunjukkan bahwa menutup muka (memakai cadar) merupakan sesuatu yang biasa dilakukan oleh wanita Muslimah di luar pelaksanaan haji. Juga hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya dari Fatimah binti Qais bahwa setelah dia diceraikan oleh suaminya, Rasulullah saw memerintahkannya supaya dia (Fatimah binti Qais) menunggu masa iddah di rumah Ummu Syarik, kemudian Rasulullah saw memberitahukan kepadanya bahwa rumah Ummu Syarik banyak dihuni oleh para sahabatnya (sahabat Nabi saw). Akhirnya Rasulullah saw memerintahkan Fatimah binti Qais agar menunggu masa iddah-nya di rumah anak paman Fatimah binti Qais yaitu Ibnu Ummi Maktum, karena dia (Ibnu Ummi Maktum) seorang buta yang tidak akan melihat manakala ia melepas kerudungnya.
Itulah dalil-dalil yang mewajibkan wanita Muslimah agar menutup muka dan seluruh anggota tubuhnya dari lelaki asing. Adapun dalil-dalil yang melarang lelaki melihat wanita termasuk wajahnya , dapat kami sebutkan di antanya :
Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi dari Barirah ra, ia berkata : Rasulullah saw bersabda kepada Ali : “Wahai Ali, janganlah kamu melihat (wanita) pandang demi pandang, karena kamu hanya punya hak pada pandangan yang pertama tetapi tidak pada pandangan keuda (dan seterusnya).“
Dalam riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas ra. Disebutkan bahwa Fadlal bin Abbas pernah mengikuti di belakang Rasulullah saw pada hari penyembelihan qurban. Pada kesempatan ini Nabi saw ditanya oleh seorang wanita dari suku Khats‘amiah yang terkenal ceriwis. Ketika itu Fadlal memandang agak lama kepada wanita tersebut, lalu Rasulullah saw memegang dagu Fadlal dan memutarnya kebelakang.
Di dalam kandungan Hadits-hadits di atas terdapat dua larangan. Larangan bagi wanita untuk membuka wajahnya atau salah satu bagian dari anggota tubuhnya di hadapan lelaki asing, dan larangan bagi kaum lelaki untuk melihatnya. Kiranya Hadits-hadits yang telah kami sebutkan di atas cukup sebagai dalil bahwa , wajah wanita adalah aurat di hadapan lelaki asing dalam kondisi-kondisi tertentu seperti, dharurat berobat, belajar , kesaksian dan lain sejenisnya.
Tetapi di antara Imam Madzhab ada yang berpendapat bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita bukan aurat yang wajib ditutup. Mereka menafsirkan Hadits-hadits mengenai masalah ini sebagai perintah yang bernilai anjuran (nadb), bukan wajib. Kendatipun demikian, semua fuqaha telah menyepakati bahwa seorang lelaki (asing, bukan muhrim) tidak boleh melihat salah satu anggota tubuh wanita dengan syahwat, dan wajib atas wanita menutup mukanya manakala kefasikkan telah menyebar luas sedemikian rupa di tengah-tengah masyarakat, karena semua orang yang memandangnya adalah orang-orang fasik dan bermata jalang.
Jika anda perhatikan kondisi kaum Muslimin sekarang dengan segala kefasikkan dan kemungkaran, akibat lemahnya pembinaan dan akhlak, niscaya anda akan menyadari bahwa tidak ada alasan untuk membolehkan wanita membuka wajahnya dalam kondisi seperti itu. Sesungguhnya jurang berbahaya yang sedang dilalui masyarakat Islam dewasa ini menuntut hati-hati dan pengetatan-pengetatan sampai kaum Muslimin mampu melewati tahapan berbahaya tersebut dan mampu pula menguasai serta mendendalikan masalah yang dihadapinya.
Atau dengan ungkapan lain, sesungguhnya orang yang selalu mengambil rukshah (keonggaran) dan kemudahan-kemudahan agama, lambat laun akan menghanyutkan diri yangbersangkutan kepada tindakkan melepaskan diri dari kewajiban secara keseluruhan selagi tidak ada arus sosial Islam yang mengendalikan keringan-keringanan tersebut dalam suatu Manhaj Islami yang bersifat umum dan memeliharanya dari segala bentuk pelampauan batas yang disyariatkan.
Tetapi anehnya ada sebagian orang yang berpegang teguh kepada apa yang mereka namakan perubahan hukum mengikuti perubahan jaman, dalam masalah keringan, kemudahan dan usaha-usaha melepaskan diri dari kewajiban saja, namun mereka tidak menyebutkan kaidah tersebut sama sekali ketika situasi menuntut kebalikan daripadanya, sampai sekarang saya belum mendapatkan satu contoh yang lebih tepat untuk menerapkan kaidah perubahan hukum mengikuti perubahan jaman selain dari keharusan menetapkan kewajiban menutup wajah bagi wanita, mengingat tuntutan-tuntutan jaman pada masa kita hidup sekararang ini di samping mengingat banyaknya ranjau-ranjau yang menuntut kita agar lebih banyak berhati-hati dan berwaspada dalam meniti dan melangkahkan kaki, sambil menunggu datangnya pertolongan Allah dalam mewujudkan masyarakat Islam yang kita cita-citakan.
2.      Insiden yang timbul karena Yahudi banu Qainuqa‘ ini menunjukkan kedengkian yang terpendam selama ini di dalam hati mereka terhadap kaum Muslimin. Tetapi mengapa bukti-bukti kedengkian itu baru muncul dan terbongkar setelah sekitar tiga tahun mereka memendam kedengkian tersebut ? Jawabannya, karena sesuatu yang menyulut kedengkian yang telah lama membara di dalam dada mereka itu ialah peristiwa kemenangan kaum Muslimin pada perang Badr. Suatu kemenangan yang tidak pernah mereka bayangkan sama sekali. Hati mereka terbakar oleh kedengkian dan kebencian.
Sementara itu mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk menumpahkannya, sehingga akhirnya mereka melakukan tindakkan-tindakkan tersebut. Kedengkian mereka terhadap kaum Muslimin itu tampak jelas dengan sungutan dan cibiran mereka terhadap kemenangan kaum Muslimun pada perang Badr, sebagaimana dapat kita bada dalam beberapa riwayat.
Ibnu Jurair meriwayatkan bahwa Malik bin Shaif salah seorang Yahudi berkata kepada sebagian kaum Muslimin ketika mereka kembali dari perang Badr : “Janganlah kalian tertipu oleh kemenangan terhadap kaum Quraisy yang tidak mengerti ilmu peperangan! Seandainya kalian menghadapi kami, niscaya kalian tidak akan berdaya …:“
Seandainya orang-orang itu menghormati „perjanjian“ yang telah mereka sepekati dengan kaum Muslimin dipastikan tidak akan ada seorang pun dari kaum Muslimin yang mengusik dan menyakiti mereka. Tetapi mereka tidak menghendaki selain kejahatan, sehingga kejahatan itu sendiri kembali kepada diri mereka.
3.      Perlakuan Islam kepada Orang Munafik.
Peristiwa ini berikut pembelaan Abdullah bin Ubay kepada orang-orang Yahudi dalam bentuk yang telah kita ketahui dengan jelas membeberkan kemunafikan orang tersebut. Dari sikapnya itu jelaslah sudah bahwa dia adalah seorang munafik yang menyimpan kedengkian dan kebencian kepada Islam dan kaum Muslimin.
Tetapi kendatipun demikian, Rasulullah saw tetap memperlakukannya selaku seorang Muslim. Beliau tidak menggugat kemunafikkannya. Tidak juga memperlakukannya sebagai seorang musyrik atau murtad atau yang berdusta dalam menganut Islam. Bahkan Rasulullah saw meluluskan permintaan dan tuntutannya itu.
Ini menunjukkan sebagaimana disepakati para ulama bahwa orang munafik selama di dunia harus diperlakukan oleh kaum Muslimin sebagai seorang Muslin. Mereka harus diperlakukan sebagai orang-orang Muslim sekalipun kemunafikannya telah dapat dipastikan. Ini karena hukum-hukum Islam secara keseluruhan terdiri dari dua aspek. Aspek yang harus diterapkan di dunia di mana kaum Muslimin berkewajiban menerapkannya dalam masyarakat mereka, dengan dipimpin oleh seorang Khalifah atau kepada negara. Dan Aspek lain yang akan diterapkan kelak di akherat, yang pada saat itu segala urusan dikembalikan kepada Allah swt semata.
Sejauh menyangkut aspek yang pertama, seluruh persoalannya harus didasarkan kepada bukti-bukti hukum yang bersifat material dan empirik, karena setiapkeputusan hukum didasarkan kepadanya. Alasan-alasan yang didasarkan kepada keyakinan dalam hati dan kesimpulan dari indikasi, tidak boleh digunakan di sini.
Adapun aspek yang kedua, maka sepenuhnya didasarkan kepada keyakinan dalam hati dan yang akan bertindak mengadili adalah Allah swt. Kaidah ini dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Umar ra : “Kami sekarang ini memutuskan (perkara) hanya berdasarkan kepada amalan kalian yang bersifat lahiriah.”
Dalam Hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya kalian mengadukan perkara kepadaku, yang mungkin saja sebagian orang di antaranya kalian lebih pandai berhujjah daripada yang lainnya sehingga aku memutuskan perkaranya berdasarkan apa yang aku dengar. Maka siapa saja yang mendapatkan keputusan dariku dengan kuberikan sesuatu yang sebenarnya menjadi hak saudaranya, hendakllah ia tidak mengambilnya karena itu hanyalah segenggam dari api neraka.“
Hikmah ditetapkan kaidah ini, agar keadilan di antara manusia tetap terpelihara dan tidak menjadi ajang permainan. Sebab, mungkin saja ada sebagian penguasa memutuskan suatu perkara semata-mata berdasarkan kepada hal-hal yang bersifat dorongan perasaan dan keyakinan hari, hanya karena ingin bertindak dzalim kepada sebagian orang.
Sebagai pelaksanaan terhadap kaidah syariat inilah maka Rasulullah saw kendatipun banyak mengetahui ikhwal kaum Munafiqin dan apa yang terpendam di hati mereka melalui wahyu Allah swt, dalam Hukum-hukum syariat secara umum memperlakukan mereka (Munafiqin) sebagaimana halnya terhadap kaum Muslimin tanpa membeda-bedakan.
Ini tidak bertentangan dengan kewajiban kaum Muslimin untuk bersikap hati-hati terhadap kaum Munafiqin dan bertindak arif dalam menghadapi berbagai tindakkan mereka. Kerena hal ini merupakan kewajiban kaum Muslimin pada setiap waktu dan situasi.
4.      Memberikan Wala‘ (Kepemimpinan) kepada Non-Muslim
Jika kita perhatikan Hukum Syariat yang dikeluarkan menyusul peristiwa ini, yaitu ayat-ayat al-Quran yang diturunkan sebagai komentar terhadap kasus tersebut, dapatlah diketahui bahwa seorang Muslim tidak boleh menjadikan non-Muslim sebagai Wali (pemimpin atau tempat memberikan loyalitas), atau sebagai teman setia atau sejawat untuk melakukan kerjasama dan menjalin tanggung jawab kewalian.
Masalah ini termasuk Hukum-hukum Islam yang tidak pernah diperselisihkan oleh kaum Muslimin sepanjang masa, kerana ayat-ayat al-Quran menyangkut masalah ini banyak sekali jumlahnya. Bahkan Hadits-hadits Nabawi pun yang menegaskan masalah ini, mencapai derajat mutawatir ma‘nawi. Di sini tidak perlu kami sebutkan dalil-dalil tersebut, mengingat sudah banya diketahui oleh masyarakat luas.
Tidak ada pengecualian dalam hukum wala‘ ini melainkan tersebab oleh satu kondisi , yaitu apabila kaum Muslimin dalam keadaan terlalu lemah menghadapi berbagai intimidasi dipaksa sedemikian rupa untuk memberikan wala‘nya. Allah swt telah memberikan keringanan ini dalam firman Allah swt : “Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan menidak-acuhkan atau meninggalkan orang-orang Mukmin (lainnya). Siapa saja berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah swt . Terkecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Allah memperingatkan kamu terhahap diri (siksa)-Nya. Hanya kepada Allah swt kembali(mu).“ QS Ali Imran : 28
Hendaknya diketahui bahwa larangan menjadikan non-Muslim sebagai Wali ini, tidak berarti sebagai perintah untuk dengki terhadap mereka. Seorang Muslim dilarang berlaku dengki kepada siapapun. Harus disadari pula bahwa seseorang marah terhadap orang lain karena Allah swt, itu tidak sama dengan berbuat dengki kepadanya. Sebab tindakkan yang pertama bersumber dari kemungkaran yang tidak diridhai Allah yang membuat seorang Muslim marah karenanya, sedangkan tindakkan yang kedua bersumber dari pribadinya, tanpa memandang tindakkan dan perbuatannya.
Marah karena Allah swt sebenarnya timbul karena rasa kasihan kepada orang yang berbuat maksiat atau orang kafir yang sepatutnya mendapatkan murka tersebut. Sebab, orang Mukmin diperintahkan supaya mencintai semua orang sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai oleh seorang Mukmin selain daripada membebaskan dirinya dari siksa hari Kiamat, dan meraih kebahagiaan abadi. Oleh sebab itu, jika ia marah kepada orang-orang yang berbuat maksiat atau orang-orang kafir maka itu hanya karena ghirahnya kepada mereka dan keprihatinannya melihat mereka terancam oleh kesengsaraan abadi dan siksa dari Allah swt di akherat. Ini tentu bukan tindakkan dengki yang dilarang. Tindakkan ini tak ubahnya seperti seorang ayah yang marah kepada anaknya demi kemaslahatan dan kebahagiana sang anak tersebut.
Tindakkan ini juga tidak bertentangan dengan perintah bertindak „keras“ terhadap kaum kafir. Karena seringkali tindakkan keras itu merupakan satu-satunya sarana untuk perbaikan. Seorang penyair pernah berkata : “Bertindaklah keras supaya mereka sadar, Siapa yang mengasihi seseorang, hendaklah sekali-sekali bertindak keras kepadanya.“
Hendaknya diketahui pula bahwa larangan memberikan wala‘ kepada kum kafir tidak berarti memberikan peluang untuk bertindak tidak adil kepada mereka atau tidak menghormati perjanjian-perjanjian yang sedang berlangsung antara kaum Muslimin dengan kaum kafir. Keadilan harus selalu ditegakkan. Kebencian dan kemarahan karena Allah sama sekali tidak boleh menghalangi pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan. Firman Allah : “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berbuat tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.“ (QS Al- Maidah: 8)
Hal ini bertujuan supaya anda menyadari bahaw kaum Muslimin, tidak seperti ummat yang lain, adalah satu ummat sebagaimana ditegaskan oleh naskah perjanjian yang telah kami jelaskan terdahulu. Dengan demikian wala‘ dan persaudaraan mereka harus dibatasi hanya pada lingungan mereka saja. Adapun pergaulan (mu‘amalah) mereka kepada semua orang maka harus didasarkan kepada prinsip-prinsip keadilan dan keinginan akan kebaikan bagi semua orang.[3]
C.    Perang Uhud
Peperangan ini terjadi karena pada tokoh Quraisy yang tidak terbunuh pada perang Badar bersepakat untuk membalaskan dendam orang-orang yang terbunuh di Badar. Mereka ingin membentuk pasukan besar guna menghadapi Muhammad saw dengan dukungan dana dari seluruh kekayaan yang dibawa oleh kafilah Abu Sofyan. Keinginan ini akhirnya disetujui oleh seluruh kaum Quraisy dengan didukung pula oleh unsur-unsur yang dikenal dengan nama Al-Ahabisy (suku-suku lain di sekitar Mekkah yang terikat perjanjian dengan suku Quraisy). Bahkan mereka mengerahkan kaum wanita untuk mencegah larinya para tentara dari medan perang apabila kaum Muslimin melancarkan serangan kepada mereka. Kaum Quraisy keluar meninggalkan Mekkah dengan tiga ribu tentara.
Setelah mendengar berita tersebut, Rasulullah saw lalu mengadakan musyawarah dengan para shabatnya. Dalam musyawarah ini Rasulullah saw menawarkan kepada mereka antara keluar menjemput musuh di luar kota Madinah atau bertahan di dalam kota Madinah, jika musuh datang menyerang kota Madinah barulah kaum Muslimin menghadapi mereka dalam kota. Dari kalangan orang-orang tua, termasuk Abdullah bin Ubay bin Salul memilih tawaran (bertahan di dalam kota Madinah) sedangkan sebagian besar dari para sahabat yang tidak berkesempatan ikut perang Badr berkeinginan menghadapi musuh di luar kota Madinah, lalu mereka berkata : “Wahai Rasulullah saw bawalah kami ke luar menghadapi musuh kita agar mereka tidak menganggap kita takut dan tidak mampu menghadapi mereka”. Golongan ini terus saja mendesak Rasulullah saw agar mau mengadakan perang di luar Madinah, sampai akhirnya beliau menyetujuinya.
Kemudian Rasulullah saw masuk rumahnya lalu mengenakan baju perang dan mengambil senjatanya. Melihat ini, lalu orang-orang yang mendesak Rasulullah saw tersebut menyesali diri karena mereka telah memaksa Rasulullah saw untuk melakukan sesuatu yang tidak diingininya sehingga mereka berkata kepada Rasulullah saw : “Ya Rasulullah saw  kami tadi telah mendesak anda untuk keluar padahal tidak selayaknya kami berbuat demikian. Karena itu jika anda suka duduklah saja”.  Tetapi Rasulullah saw menjawab : “Tidak pantas bagi seorang Nabi apabila telah memakai pakaian perangnya untuk meletakkannya kembali sebelum berperang”.
Kemudian Nabi saw keluar dari Madinah bersama seribu orang pasukannya menuju Uhud, pada hari Sabtu tanggal 7 Syawwal, tiga puluh dua bulan setelah Hijrah beliau. Ketika di tengah perjalanan antara Madinah dan Uhud, Abdullah bin Ubay bersama sepertiga pasukan umumnya terdiri dari pada pendukungnya melakukan desersi dan kembali pulang dengan alasan yang dikemukakannya : “Dia (Nabi saw) tidak menyetujui pendapatku bahkan menyetujui pendapat anak-anak ingusan dan orang-orang awam. Kami tidak tahu untuk apa kami harus membunuh diri kami sendiri”.
Abdullah bin Harram berusaha mencegah mereka dan memperingatkan agar mereka tidka mengkhianati Nabi saw. Tetapi mereka menolak, bahkan tokoh mereka menjawab : “Seandainya kami tahu akan terjadi peperangan niscaya kami tidak akan mengikuti kalian”.
Bukhrai meriwayatkan bahwa kaum Muslimin berselisih pendapat dalam menanggapi tindakkan desersi ini. Sebagian mengatakan : “Kita perangi mereka“, sedangkan sebagian yang lain mengatakan : “Biarkan mereka“. Lalu turunlah firmam Allah swt mengenai hal itu : “Maka mengapa kami menjadi dua golongan dalam menghadapi orang-ornag munafik, padahal Allah swt telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu ingin memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan oleh Allah swt? Siapa pun yang disesatkan oleh Allah swt, sekali-kali kamu tidak mungkin mendapatkan jalan untuk memberi petunjuk kepadnaya”. (QS An-Nisa : 88)
Menghadapi peperangan ini, sebagian sahabat mengusulkan supaya meminta bantuan kepada orang-orang Yahudi, mengingat mereka terikat perjanjian untuk saling tolong-menolong dengan kaum Muslimin. Tetapi Rasulullah saw menjawab : “Kita tidak akan pernah meminta bantuan kepada orang-orang Musyrik untuk menghadapi orang-orang musyrik lainnya”.
Kemudian Rasulullah saw bersama para sahabatnya jumlah mereka tidak lebih dari tujuh ratus tentara mengambil posisi di sebuah dataran di lereng gunung Uhud dan membentengi diri di balik gunung itu, menghadap ke arah Madinah. Beliau menempatkan 50 pasukan pemanah diatas bukit yang terletak di belakang kaum Muslimin itu.
Rasulullah saw menunjuk Abdullah bin Jubair sebagai pimpinan pasukan pemanah. Kepada pasukan pemanah Rasulullah saw berpesan : “Berjagalah di tempat kalian ini dan lindungilah pasukan kita dari belakang. Bila kalian melihat pasukan kita berhasil mendesak dan menjarah musuh, janganlah sekali-kali kalian turut serta menjarah. Demikian pula andai kalian melihat pasukan kita banyak yang gugur, janganlah kalian bergerak membantu”.
Rafi‘ bin Khudaij dan Samurah bin Jundab keduanya berusia lima belas tahun, meminta kepada Rasulullah saw untuk ikut serta dalam peperangan ini. Karena terlalu muda, Rasulullah saw menolak permintaan tersebut. Tetapi setelah dijelaskan kepada beliau bahwa sesungguhnya Rafi‘ ahli memanah, akhirnya Rasulullah saw membolehkannya. Kemudian Samurah bin Jundab pun menghadap Rasulullah saw seraya berkata : “Demi Allah swt, aku bisa membanting Rafi‘. “ Akhirnya Rasulullah saw pun membolehkannya juga.
Pada hari menjelang Uhud, Rasulullah saw memegang sebilah pedang kemudian bertanya kepada pasukannya : “Siapakah diantara kalian yang sanggup memenuhi fungsi pedang ini?“ Abu Dujanah maju seraya menjawab : “Aku sanggup memenuhi fungsinya”. Ia kemudian menerima pedang tersebut dari tangan Rasulullah saw. Ia mengeluarkan pedang tersebut dari tangan Rasulullah saw. Ia mengeluarkan selembar kain merah lalu diikatkan di kepala (kebiasaan Abu Dujanah jika ingin berperang sampai mati) kemudian ia berjalan mengelilingi barisan dengan membanggakan diri. Melihat ini Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya cara berjalan seperti itu dimurkai oleh Allah swt, kecuali pada tempat (dan peristiwa) seperti ini (perang)”.
Kemudian Rasulullah saw menyerahkan panji kepada Mush‘ab bin Umair. Sementara itu pasukan sayap kanan kaum Musyrikin di bawah pimpinan Khalid bin Walid dan sayap kiri di bawah pimpinan Ikrimah bin Abu Jahal.
Perang campuh pun berlangsung sangat sengit. Dalam pertempuran ini kaum Muslimin berhasil menyerang kaum Musyrikin secara mengagumkan, terutama Abu Dujanah, Hamzah bin Abdul Muttalib dan Mush‘ab bin Umair. Mush‘ab bin Umair gugur di hadapan Rasulullah saw kemudian panji diambil oleh Ali bin Abi Thalib. Tidak lama kemudian Allah swt menurunkan pertolongannya kepada kaum Muslimin sehingga kaum Musyrikin lari mundur terbirit-birit tanpa menghiraukan wanita-wanita mereka yang menyumpah serapah kepada mereka. Kaum Muslimin terus mengejar mereka seraya mengumpulkan barang rampasan.
Melihat ini pasukan pemanah yang bertugas mengawal di atas bukit tertarik untuk turun mengambil barang-barang rampasan bersama para sahabatnya yang lainnya, kecuali pimpinan mereka, Abdullah bin Jubair, bersama beberapa orang tetap setia menjaga bukit seraya berkata : “Aku tidak akan melanggar perintah Rasulullah saw”. Melihat bukit yang sudah tidak terjaga kecuali orang beberapa orang itu, Khalid bin Walid bersama pasukannya pun melancarkan serangan balik, dan diikuti oleh Ikrimah. Sehingga mereka berhasil membunuh pasukan pemanah yang masih setia mengawal bukti termasuk Abdullah bin Jubair. Dan mulailah mereka melancarkan serangan balik kepada kaum Muslimin dari arah belakang.
Pada saat itulah kaum Muslimin terhenyak, mulai terdesak dan diliputi oleh rasa takut, sehingga mereka berperang dengan tidak teratur lagi. Pasukan Musyrikin semakin gencar melancarkan serangan sampai mereka berhasil mendekati tempat di mana Rasulullah saw berada.
Mereka melempari beliau dengan batu, hingga beliau luka parah pada bagian rahangnya. Sambil mengusap darah yang mengalir di wajahnya, Rasulullah saw bersabda : “Bagaimana mungkin suatu kaum mendapat kemenangan, sedangkan mereka mengalirkan darah di wajah Nabinya yang mengajak mereka kepada jalan Allah swt”.
Kemudian Fatimah datang membersihkan darah dari wajahnya sementara Ali mencucinya dengan air. Setelah dilihat darah tetap mengucur akhirnya Fatimah mengambil pelepah kering lalu dibakarnya sampai menjadi abu kemudian abu itu diucapkan ke tempat luka dan barulah darah itu berhenti mengalir.
Disaat-saat kritis itu tersiarlah desas-desus bahwa Rasulullah saw gugur dalam pertempuran, sehingga mengguncangkan hati sebagian kaum Muslimin dan menyebabkan orang-orang yang lemah iman diantara mereka berkata : “Apa gunanya kita disini jika Rasulullah saw telah gugur?“ Kemudian mereka lari meninggalkan medan pertempuran. Tetapi menanggapi isu ini Anas bin Nadhar berkata : “ Bahkan untuk apa lagi kalian hidup sesudah Rasulullah saw gugur?“
Kemudian sambil menunjuk kepada orang-orang munafik dan lemah iman, Anas bin Nadhar berkata : “Ya Allah sesungguhnya aku berlepas diri kepada- Mu dari apa yang mereka katakan itu, dan aku memohon ampun kepada-Mu atas apa yang mereka ucapkan itu”. Kemudian Anas bin Nadhar melesat dengan membawa pedangnya menerjang kaum Musyrikin hingga gugur sebagai syahid.
Selama peristiwa ini tampaklah semangat pengorbanan dan pembelaan yang mengagumkan dari para sahabat Rasulullah saw yang selalu berada di sekitarnya. Mereka rela mengorbankan raga dan nyawa demi membela dan menyelamatkan Rasulullah saw.
Bukhari meriwayatkan bahwa ketika orang-orang meninggalkan Nabi saw dengan memerisaikan dirinya dari desakan panah-panah kaum Musyrikin, Abu Thalhah adalah seorang pemanah ulung dan selalu tepat mengenai sasarannya. Setiap anak panah yang dilepaskan olehnya ke arah kaum Musyrikin selalu diamati oleh Rasulullah saw, pada sasaran manakah anak panah itu menancap. Kemudian Abu Thalhah berkata : “Demi ayah dan ibuku, yang menjadi tebusanmu, tak usahlah anda mengamatiku nanti terkena panahan musuh. Biarlah mengenai leherku asalkan lehermu selamat”. Abu Dujanah melindungi Nabi saw dengan dirinya, sementara panah-panah musuh bertubi-tubi menghujam di punggungnya. Demikian pula Ziyad bin Sakan. Ia memerangi Rasulullah saw dengan dirinya sampai gugur bersama lima orang sahabatnya.
Menurut riwayat Ibnu Hisyam orang yang terakhir gugur melindungi Nabi saw hingga roboh karena luka yang mengenainya, lalu Rasulullah saw berkata : “Dekatkanlah dia kepadaku”. Kemudian diletakkan kepalanya di atas kaki beliau dan akhirnyaia menghembuskan nafasnya yang terakhir berbantalkan kaki Rasulullah saw.
Selang sekian lama pertempuran diantara kedua belah pihak pun mulai mereda dan berakhir. Kaum Musyrikin mulai meninggalkan medan pertempuran dengan rasa bangga atas kemenangan yang diraihnya. Sementara itu kaum Muslimin terkejut melihat para sahabat yang berguguran di antaranya Hamzah bin Abdul Muttalib, Al-Yaman, Anas bin Nadhar, Mush‘ab bin Umair dan lainnya.
Rasulullah saw sendiri sangat berduka cita atas kematian pamannya, Hamzah bin Abdul Muttalib, apalagi setelah melihat mayatnya yang dibedah perutnya dan diiris hidung serta telinganya oleh musuh.
Selanjutnya Rasulullah saw menguburkan mayat-mayat itu dua-dua dalam satu kain lalu bertanya : “Siapakah yang paling banyak hafal al-Quran?“ Setelah diberitahukan lalu Rasulullah saw memasukkannya lebih dahulu ke liang lahat. Sesudah itu Rasulullah saw besabda : “Aku menjadi saksi bagi mereka pada Hari Kiamat”. Rasulullah saw memerintahkan agar mereka dikuburkan berikut pakaian dan darah mereka apa adanya, dengan tidak perlu dimandikan dan dishalatkan.
Orang-orang Yahudi dan Munafiq mulai menunjukkan kebencian mereka kepada kaum Muslimin. Abdullah bin Ubay bin Salul bersama kawan-kawannya berkata kepada kaum Muslimin : “Seandainya kalian mengikuti kami, niscaya tidak ada korban yang berjatuhan diantara kalian”. Kemudian mereka memperolok kaum Muslimin dengan mempertanyakan kemangan yang pernah mereka impikan bersama Rasulullah saw. Lalu Allah swt menurunkan sejumlah ayat dari surat Ali-Imran sebagai komentar dan jawaban terhadap celotehan orang-orang Yahudi dan Munafiqin tersebut, disamping merupakan penjelasan tentang hikmah dari peristiwa yang terjadi di Uhud. Ayat-ayat itu ialah :
“Dan (ingatlah) ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu dalam rangka menempatkan para Mukmin pada beberapa posisi untuk berperang. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ (QS Ali-Imran : 121)
“Orang-orang yang tidak turut berperang itu berkata kepada saudara-saudaranya :“Sekiranya mereka mengikuti kita tentulah mereka tidak terbunuh.“ Katakanlah :“Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar.“ (QS Ali-Imran : 168)
Pada Sabtu sore Rasulullah saw meninggalkan Uhud dan pada malam harinya bermalam di Madinah bersama pada sahabatnya. Pada malam itu kaum Muslimin mengobati luka-luka mereka. Setelah melaksanakan shalat Shubuh pada hari Ahad, Rasulullah saw memerintahkan Bilal untuk mengumumkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kepada para sahabatnya agar keluar mengejar musuh. Perintah ini hanya ditujukan kepada para sahabat yang ikut dalam peperangan kemarin. Kemudian Rasulullah saw meminta diambilkan panjinya yang belum dilepas lalu menyerahkan kepada Ali bin Thalib ra.
Dengan kondisi yang masih belum pulih dan serba lemah, para sahabat itu melesat keluar mengejar musuh sampai ke Hamra‘uö Asad (sebuah tempat yang terletak sepuluh mil dari Madinah). Disinilah kaum Muslimin menyalahkan api unggun berukuran besar sehingga dapat dilihat dari tempat yang jauh di samping mengesankan banyaknya jumlah mereka.
Disaat itulah Ma‘bad bin Ma‘bad al-khuza‘I (seorang musyrik dari suku Khuza‘ah) lewat dan melihat kaum Muslimin. Setelah itu ia melanjutkan perjalanannya dan bertemu dengan kaum Musyrikin yang sedang berpesta pora membanggakan kemenangan mereka di Uhud, dan merencanakan kembali lagi ke Madinah untuk menumpas kaum Muslimin tetapi dicegah oleh Shafwan bin Umaiyah. Ketika Abu Sofyan melihat Ma‘bad ia bertanya :“Wahai Ma‘bad ada gerangan apa di sana? Ma‘bad menjawab: “ Celaka ! Sesungguhnya Muhammad bersama pada sahabatnya dalam jumlah besar yang tidak pernah aku lihat sebelumnya, telah keluar mengejar kalian. Dengan semangat berkobar-kobar dan kebencian yang belum pernah aku lihat sebelumnya, mereka ingin berhadapan dengan kalian”. Dengan itulah Allah swt  menimbulkan rasa takut di hati kaum Musyrikin sehingga mereka segera mengangkat kaki berangkat menuju Mekkah. Rasulullah saw tinggla di Hamra‘ul Asad pada hari Senin dan Selasa. Rabu kembali ke Madinah.


Beberapa Ibrah :
Pernag Uhud ini memberi banyak pelajaran penting kepada kaum Muslimin pada setiap masa. Semua peristiwa yang telah kami jelaskan terdahulu seolah-olah menjadi pelajaran yang bersifat aplikatif dan operasional, yang mengajarkan kepada kaum Muslimin cara mencapai kemenangan dalma pertempuran melawan musuh , dan cara menghindari kegagalan dan kekalahan. :
1.      Di dalam peperangan ini tampak pula prinsip yang selalu dipegang teguh oleh Rasulullah saw., yaitu bermusyawarah besama para sahabatnya dalam setiap urusan yang memerlukan syura dan pembahasan. Tetapi di sini kita mencatat satu hal yang tidak kida dapati pada musyawarah menjelang Badr. Yaitu bahwa Nabi saw tidak mau mencabut kembali persetujuannya atas pengusulan para sahabat yang menghendaki agar peperangan di tandingkan di luar Madinah, setelah beliau memakai baju perang dan mengambil persiapan perangnya, sekalipun mereka menyatakan penyesalan mereka dan menarik kembali usulan mereka itu, serta mengharap Rasulullah saw agar tinggal saja di Madinah jika beliau berpendapat demikian. Tampaknnya pada waktu musyawarah Nabi saw cenderung atau menampakkan kecenderungan terhadap usulan yang menginginkan agar kaum Muslimin menunggu musuh di Madinah.
Barangkali hikmah yang terkandung dalam maslah ini, antara lain bahwa memperbincangkan kembali suatu masalah yang sudah diputuskan apalagi setelah Nabi saw muncul di tengah kaum dan para sahabatnya seraya memakai baju perang dan mengangkat senjatanya adalah suatu tindakkan di luar prinsip syura khususnya menyangkut masalah-masalah peperangan yang memerlukan di samping musyawarah ketegasan dan kepastian sikap. Di samping itu kesan yang akan timbul jika Nabi saw mencabut persetujuannya setelah semuanya melihat Nabi saw telah bersiap-siap untuk perang, seakan Nabi saw tidak memiliki kehendak dan tekat yang kuat dan pasti. Bahkan biasanya sikap ragu seperti itu muncul karena rasa takut dan kekhawatiran yang tidak berasalan. Oleh sebab itu, Nabi saw menjawab mereka dengan tegas dan pasti : “Tidak pantas bagi seorang Nabi apabila telah memakai baju perangnya untuk meletakkannya kembali sebelum berperang.“
2.      Dalam peperangan ini kaum Munafiqin menunjukkan sikap mereka yang asli. Sikap mereka ini mengandung banyak hikmah dan tujuan, di antara yang terpenting ialah wujud penyapubersihan unsur-unsur Munafiqin dari kaum Mukminin. Selain itu, sikap kaum Munafiqin tersebut memberikan berbagai manfaat bagi kaum Muslimin untuk menghadapi masa-masa mendatang.
Telah kita ketahui bagaimana Abdullah bin Ubay bersama tiga ratus pengikutnya berkhianat kepada Rasulullah saw, dan para sahabatnya setelah keluar dari kota Madinah. Konon pengkhianatan ini disebabkan karena Nabi saw, mengikuti pendapat anak-anak muda dan tidak mengambil pendapat orang-orang tua dan para intelektual seperti dirinya (Abdullah bin Ubay).
Tetapi sesungguhnya tidaklah demikian halnya. Ia (Abdullah bin Ubay) melakukan tindakkan pengkhianatan itu hanya karena tidak mau berperang. Sebab ia tidak siap menghadapi segala resikonya. Itulah ciri khas utama kaum Munafiqin : ingin mengambil keuntungan-keuntungan yang terdapat dalam Islam dan menjauhi segala tanggung jawab dan resikonya. Sesuatu yang mengikat mereka dengan Islam ialah salah satu di antara dua hal : Harta rampasan yang mereka idamkan atau bencana yang dapat mereka elakkan.

3.      Dalam peperangan ini Rasulullah saw tidak mau meminta bantuan kepada orang-orang non-Muslim kendatipun jumlah kaum Muslimin masih sangat sedikit. Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa‘d di dalam Thabaqat-nya, Rasulullah saw bersabda : „Kami tidak akan pernah meminta bantuan kepada orang-orang Musyrik untuk menghadapi orang-orang Musyrik lainnya.“ Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw pernah berkata kepada seorang laki-laki yang ingin berperang bersamanya di peperangan Badr : „Apakah kamu beriman kepada Allah swt ?“ Orang itu menjawab :“Tidak“, Nabi saw bersabda :“Kembalilah, karena aku tidak akan meminta bantuan kepada seorang Musyrik.“  
Berdasarkan kepada hal di atas jumhur ulama‘ berpendapat, tidak boleh meminta bantuan orang-orang kafir dalam berperang. Imam Syafi‘I menjelaskan hal ini dengan mengatakan :“Jika Imam melihat orang kafir tersebut memiliki pandangan yang baik dan jujur kepada kaum Muslimin serta sangat diperlukan bantuannya, (maka boleh meminta bantuannya), tetapi jika tidak demikian maka tidak boleh.“ Barangkali pendapat Imam Syafi‘I yang sesuai dengan beberapa kaidah dan dalil. Diriwayatkan bahwa Nabi saw menerima bantuan Shfwan bin Umaiyah pada perang Hunain.
Dan masalah ini termasuk ke dalam kerangka apa yang disebut syari’ah (kebijaksanaan Imam). Kami akan menyebutkan perbedaan antara apa yang dilakukan Rasulullah saw di Hunain serta apa yang dilakukan Rasulullah saw di Badr dan Uhud pada pembahasan mendatang insya Allah.

4.      Hal yang perlu direnungkan ialah fenomena Samurah bin Jundab dan Rafi‘ bin Khudaij
Keduanya baru berusia lima belas tahun. Bagaimana kedua anak ini datang kepada Rasulullah saw meminta ijin agar diperkenankan ikut serta dalam peperangan. Suatu peperangan yang didasarkan pada kesiapan mati dan sangat tidak seimbang. Kaum Muslimin yang jumlahnya tidak lebih dari tujuh ratus orang dengan kaum Musyrikin yang jumlahnya lebih dari tiga ribu tentara. Anehnya fenomena ini oleh para musuh Islam dianalisis dengan bukti bahwa bangsa Arab sejak dahulu selalu hidup dalam situasi peperangan dan pertempuran. Sehingga mereka (orang-orang Arab) tumbuh dalam nuansa dan suasana itu. Oleh sebab itu, mereka (tua ataupun muda) memandang peperangan sebagai sesuatu yang tidak perlu ditakutkan. Tidak diragukan lagi bahwa analisis ini dengan sengaja tidak mau melihat dan mencatat realitas desersi yang dilakukan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul bersama tiga ratus pengikutnya karena takut terhadap resiko peperangan dan menginginkan keselematan jiwanya. Juga tidak mau melihat kepada orang-orang yang ingin menikmati hasil panen kota Madinah pada musim panas dan menolak seruan Rasulullah saw untuk berperang dengan mengatakan :“Janganlah kalian berperang pada musim panas.“
Bahkan analisis tersebut sama sekali tidak mau melihat jumlah mereka lebih banyak ketimbang kaum Muslimin, dan rasa takut yang menghantui mereka padahal mereka adalah orang-orang Arab yang tumbuh, sebagaimana istilah mereka, dibawah naungan peperangan.  Sulit sekali bagi orang yang bersikap objektif untuk menghindari satu aksioma yang menegaskan bahwa munculnya kesiapan untuk menghadapi kematian seperti yang terlihat pada fenomena anak-anak tersebut (Samurah bin Jundab dan Rafi‘ bin Khudaij) adalah karena dorongan keimanan yang telah menguasai hatinya dan hasil mahabbah terhadap Rasulullah saw. Bila iman dan mahabbah ini telah terbentuk maka kesiapan itu pasti akan muncul. Sebaliknya , bila iman dan mahabbah itu tidak ada atau lemah maka jangan diharap kesiapan tersebut akan muncul.

5.      Memperhatikan siasat peperangan yang diterapkan Rasulullah saw dalam peperangan ini (terutama dalam menempatkan posisi pasukan pemanah yang bertugas mengawasi di atas bukit, betapapun situasi yang terjadi) tampaklah :
a.       Pertama,
Keahlian Rasulullah saw di bidang taktik dan strategi kemiliteran. Beliau adalah guru besar di bidang strategi dan seni peperangan. Tidak diragukan lagi bahwa Allah swt telah membekali keahlian yang langka ini kepada beliau. Tetapi perlu diingatkan bahwa kejeniusan dan keahlian ini hanya berfungsi sebagai faktor pendukung Kenabidan dan Kerasulan yang dibawanya. Kedudukan beliau sebagai seorang Nabi dan pembawa Risalah-lah yang menuntut agar beliau menjadi seorang yang jenius dan ahli di bidang kemiliteran, sebagaimana beliau dituntut untuk menjadi seorang yang ma‘shum dari segala bentuk penyimpangan. Hal ini telah dijelaskan pada bagian pertama dari buku ini, sehingga tidak perlu diulas kembali.
b.      Kedua,
Bahwa pesan-pesan yang disampaikan Rasulullah saw kepada para sahabatnya yang sangat erat dengan apa yang akan terjadi setelah itu, yaitu pelanggaran sebagian pasukan pemanah terhadap perintah-perintah Nabi saw. Seolah-olah Nabi saw telah mengetahui apa yang akan terjadi melalui firasat Kenabian atau Wahyu dari Allah swt, sehingga beliau perlu mewantiwanti mereka dengan wasiat-wasiat dan berbagai perintah. Dengan demikian seolah-olah beliau sedang melakukan suatu manuver yang hidup bersama para sahabatnya untuk melawan musuh mereka yaitu hawa nafsu dengan segala ketamakannya kepad harta dan rampasan. Suatu manuver betapapun , sangat bermanfaat. Hasil negatif dari suatu manuver mungkin saja faedahnya lebih besar daripada hasil yang positif.
6.      Abu Dujanah setelah mengambil pedang dari tangan Rasulullah saw langsung berjalan mengelilingi barisan kaum Muslimin dengan cara yang amat pongah, tetapi tindakan ini tidak diingkari oleh Rasulullah saw. Beliau hanya berkomentar : „Ini adalah gaya berjalan yang dimurkai Allah swt, kecuali di tempat seperti ini (peperangan):“ Hal ini menunjukkan bahwa setiap bentuk kesombongan yang diharamkan dalam situasi biasa, terhapus keharamannya dalam situasi perang.
Diantara bentuk kesombongan yang diharamkan kepada setiap Muslim ialah berjalan dengan cara sombong, tetapi hal tersebut menjadi kebaikan di medan peperangan. Di antara bentuk kesombongan yang diharamkan ialah menghias rumah atau bejana dengan emas dan perak. Tetapi menghiasi alat-alat perang dan senjatanya dengan emas dan perak tidak dilarang. Kesombongan yang ditampakkan di sini (dalam situasi perang) pada hakekatnya hanyalah merupakan ungkapan kewibawaan Islam di hadapan musuh-musuhnya , di samping merupakan perang urat saraf yang tidak boleh dilupakan fungsinya oleh kaum Muslimin.

7.      Jika kita perhatikan masa berlangsungnya peperangan antara kaum Muslimin dengan musuh mereka di Uhud ini maka kita mendapat dua titik perhatian :
a.       Pertama,
Di saat kaum Muslimin menjaga tempat-tempat mereka dan memelihara perintah-perintah yang mereka terima dari penglima mereka (Nabi saw). Apa hasil dari komitmen ini ? Kemenangan begitu cepat diraih kaum Muslimin sehingga tidak lama berhasil mengbra-kabrik barisan lawan. Rasa takut begitu cepat merayap ke dalam hati kaum Kafir yang berjumlah tiga ribu itu sehingga mereka meninggalkan medan perang. Bagian inilah yang dikomentari oleh ayat al-Quran : “Dan sesungguhnya Allah swt, telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan ijin-Nya.“ (QS Ali-Imran : 152)
b.      Kedua,
Di saat kaum Muslimin mengejar kaum Musyrikin untuk menumpas setiap orang yang berhasil ditangkap dan mengambil barang-barang rampasan. Pada saat itulah para pasukan pemanah melihat dari atas gunung saudara-saudara mereka menebaskan pedang kepada musuh-musuh mereka yang lari meninggalkan medna pertempuran, dan kembali dengan membawa harta dan barang rampasan. Lalu timbullah keinginan mereka untuk ikut mengumpulkan barang rampasan. Keingina inilah yang mengusik pikiran mereka sehingga timbullah anggapan bahwa masa berlakunya perintah-perintah yang diterima dari Rasulullah saw itu telah berakhir, dan mereka merasa sudah tidak terikat lagi dengan pesan-pesan itu serta tidak perlu lagi menunggu ijin dari Rasulullah saw untuk meninggalkan tempat mereka. Kendatipun ijtihad mereka ini ditentang oleh sebagian temannya terutama Amir (komandan regu) mereka, Abdullah bin Jubair, tetapi mereka tetap turun dan ikut mengambil barang rampasan. Apakah akibat dari tindakkan ini? Rasa takut sebelumnya menyelimuti hati kaum Musyrikin kini berubah menjadi suatu keberanian baru! Khalid bin Walid yang tadinya lari menyurut pun kini mulai melihat peluang dan pintu untuk melancarkan serangan. Ia mengamati tempat-tempat di sekitarnya. Akhirnya ia mengetahui bahwa gunung yang semula dijaga dengan ketat kini telah ditinggalkan oleh pasukan pemanah. Lalu muncullah ide-ide kemiliteran di dalam benaknya. Dan bersama dengan pasukan Musyrikin Khalid bin Walid pun dengan cepat menyerbu ke atas gunung dan berhasil membunuh beberapa orang pasukan pemanah yang tidak ikut turun, lalu mereka dengan mudah menguasai medan dan melancarkan serangan balik menghujani panah kaum Muslimin dari belakang. Kali ini giliran kaum Muslimin yang dicekam rasa takut seperti yang telah kita ketahui.
Bagian inilah yang dikomentari oleh Allah swt melalui firman-Nya : „…sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu serta mendurhakai perintah (Rasulullah saw) sesudah Allah swt memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan apa pula yang menghendaki akherat. Kemudian Allah swt memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu ….“ (QS Ali-Imran: 152)
Perhatikanlah ! Betapa berat resiko yang harus dihadapi akibat kesalahan besar tersebut ? Betapa resikoitu menimpa semua personel kaum Muslimin ! Kesalahan yang dilakukan oleh beberapa orang di dalam pasukan kaum Muslimin telah menimbulkan bencana tragis yang menimpa semua orang. Bahkan Rasulullah saw pun tidak luput dari akibatnya. Itulah Sunnatullah yang berlaku di alam semesta ini. Keberadaan Rasulullah saw di tengah-tengah pasukan itu pun tidak dapat menangkal keberlangsungan Sunnatullah itu. Sekarang bandingkanlah. Lebih besar mana antara kesalahan yang dilakukan oleh beberapa orang (pasukan pemanah) tersebut dengan sekian kesalahan yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada hari ini, dalam berbagai aspek kehidupan kita, baik yang umum ataupun yang khusus ? Renungkanlah semua ini, agar anda dapat menggambarkan betapa kasih sayang Allah kepada kaum Muslimin , karena tidak menghancurkan mereka sekalipun mereka melakukan berbagai kesalahan dan mengabaikan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar dan bersatu dalam satu Kalimat. Dengan demikian, jelaslah bagi anda mengapa bangsa-bangsa Islam tidak berdaya menghadapi negara-negara tiran yang tidak percaya kepada Allah swt.
8.      Dalam peperangan ini Nabi saw mengalami cedera dan luka parah.
Terperosok ke dalam lubang , bocor kepalanya, patah gigi, dan darahnya mengalir deras di wajahnya. Semua ini merupakan salah satu akibat dari kesalahan tersebut. Kesalahan beberapa orang prajurit karena melanggar perintah pimpinan. Tetapi apakah hikmah disebarluaskannya desas-desus tentang kematina Rasulullah saw, di barisan kaum Muslimin ? Jawabannya, Sesungguhnya keterikatan kaum Muslimin dengan Rasulullah saw dan keberadaannya di antara mereka sedemikain kuat, sehingga mereka tidak dapat membayangkan perpisahan dengan Rasulullah saw.
Kematian Rasulullah saw adalah sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam benak mereka. Seolah-olah mereka membuang jauh-jauh kenyataan ini dari pikiran mereka. Tidak diragukan lagi seandainya berita kematian Rasulullah saw itu benar, niscaya berita itu akan meremuk-redamkan hati mereka dan mengguncangkan keimanan mereka, bahkan akan menimbulkan keguncangan jiwa yang demikian dasyat pada sebagian besar di antara mereka. Hikmah dari isu kematian Rasulullah saw, bahwa ia menjadi salah satu pengalaman dan pelajaran kemiliteran yang sangat penting agar kaum Muslimin menyadari akan suatu hakekat yang harus dihadapinya, sehingga mereka tidak kembali murtad apabila Rasulullah saw harus meninggalkan mereka. Demi untuk menjelaskan pelajaran penting ini maka diturunkanlah ayat al-Quran sebagai komentar terhadap kelemahan dann keterkejutan yang menimpa kaum Musyrikin ketika mendengar berita kematian Rasulullah saw. Firman Allah : “Muhammad ini tidak lain hanyalah seorang Rasul. Sungguh sebelumnya telah berlalu beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau gugur dibunuh kamu berbalik kembali (murtad) ? Siapa saja yang murtad maka dia sama sekali tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah kelak memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (QS Ali-Imran : 144)
Hasil positif dari pelajaran ini tampak dengan jelas ketika Rasulullah saw benar-benar meninggalkan mereka (wafat). Peristiwa (issu) Uhud inilah, dengan segenap ayat al-Quran yang diturunkan menyusul issu tersebut, yang memperingatkan dan menyadarkan kaum Muslimin kepada kenyataan ini, Sehingga mereka dengan berat hati dan rasa sedih telah siap menerima kematian Rasulullah saw , dan memikul beban amanah yang ditinggalkannya : Dakwah dann Jihad di jalan Allah swt. Mereka bangkit memikul amanah dengan keimanan yang kokoh dann ketakwaan yang mantap kepada Allah swt.
9.      Mari kita renungkan kematian yang telah merengut nyawa para sahabat Rasulullah saw demi membela dan menyelamatkan Rasulullah saw dari berondongan anak panah dan lemparan batu. Satu demi satu, mereka berguguran di bawah hujan panah. Mereka berjuang dengan semangat tinggi demi menjaga nyawa Rasulullah saw , tanpa menghiraukan resiko yang ada … Dari manakah sumber pengorbanan yang menakjubkan ini? Kesemuanya ini tidak lain hanyalah bersumber dari :
a.       Pertama,
Keimanan kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
b.      Kedua,
Kecintaan kepada Rasulullah saw keduanya itu merupakan sumber dan sebab munculnya perngorbanan yang menakjubkan tersebut. Setiap Muslim sangat memerlukan kedua hal ini. Tidaklah cukup seseorang mendakwakan diri beriman kepada masalah-masalah aqidah yang harus diimani, sebelum hatinya jaga dipenuhi oleh cinta kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu Rasulullah saw bersabda : “Tidaklah beriman seseorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada hartanya, anaknya, dan semua manusia.“ (HR Muttafa‘alaihi)
Ini karena Allah swt telah memberikan perangkat akal dan hati pada diri manusia. Dengan akal , manusia dapat berpikir kemudian mengimani hal-hal yang wajib diimani. Sedangkan dengan hati, manusia dapat mempergunakannya untuk mencintai hal-hal yang dicintai Allah swt dan dan memenci hal-hal yang dibenci Allah swt, Rasul-Nya dan hambahamba-Nya yang shalih, niscaya akan dipenuhi oleh cinta hawa nafsu dan hal-hal yang diharamkan. Jika hati telah dipenuhi oleh cinta hawa nafsu dan kemungkaran maka janganlah diharap bahwa keyakinan seseorang (yang tidak disertai oleh rasa cinta itu) akan dapat menumbuhkan pengorbanan. Seringkali dibicarakan tentang keinginan untuk menegakkan keutamaan (kebahagiaan) berdasarkan akal semata-mata. Tetapi kokohnya landasan ini ? Inikah landasan yang baik ? Sesungguhnya keutamaan, sebagaimana mereka katakan adalah sistem. Tetapi apakah keyakinan terhadap sistem ini dapat mengatasi kebahagiaan saya yang bersifat khusus ? Sebenarnya prinsip yang dikhayalkan itu tidak lain hanyalah sekedar permainan kata. Tidak dalam kejahatanpun merupakan kecintaan kepada sistem dalam bentuk yang berlainan. Oleh sebab itu pemerintah Amerika tidak dapat berpegang pada yang yang diyakini sebagai sesuatu yang berfaedah pada saat mengumumkan pengharaman khaar dan pelarangan penjualan di masyarakat pada tahun 1933. Karena, tidak lama setelah pelarangan tersebut para pembuat keputusan itu sendiri yang memelopori pelanggaran undang-undang tersebut. Mereka tidak seorang terhadap keputusan yang dibuatnya sendiri. Akhirnya mereka menghapuskan kembali undang-undang itu dan kembali meneguk khamar dengan leluasa.
Sementara itu para sahabat Rasulullah saaw yang pada waktu itu secara peradaban pengetahuan tentang berbagai bahaya dan faedah jauh di bawah orang-orang Amerika kini begitu mendengar perintah Allah agar menjauhi khamar, seketika mereka langsung menghancurkan botol-botol, guci-guci dan kantung-kantung penyimpangan khamar mereka seraya berteriak : „Kami berhenti ya Allah, kami berhenti!“ Perbedaan antara dua gambaran dan realitas ini sangat jelas. Pada masyarakat Muslim ada sesuatu yang bersemayam di hatinya yang mengendalikan hawa nafsunya untuk mengikuti perintah dan hukum Allah. Kecintaan yang terdapat di dalam hati para sahabat Rasulullah saw inilah yang membuat mereka bersedia menyerahkan nyawa mereka demi melindungi Rasulullah saw. Dalam perang Uhud ini kita dapat menyaksikan berbagai pengorbanan yang menakjubkan yang mengungkapkan pengaruh cinta ini di hati para sahabat. Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda kepada para sahabatnya : „Siapa di antara kalian yang bersedia mencari berita untukku tentang keadaan Sa‘ad bin Rabi ? Masihkah ia hidup atau sudah matikah ? Salah seorang Anshar menyatakan kesediaannya, kemudian pergi mencari Sa‘ad bin Rabi. Akhirnya Sa‘ad ditemukan dalam keadaan luka parah, sedang menanti datangnya ajal. Kepadanya orang Anshar itu memberitahu :“Aku disuruh Rasulullah saw untuk mencari engkau, apakah engkau masih hidup atau telah mati…“ Sa‘ad menjawab :“ Beritahukan kepada beliau, bahwa aku sudah mati, dan sampaikanlah salamku kepada beliau. Katakan kepada beliau, bahwa Sa‘ad bin Rabi menyampaikan ucapan kepada anda (yakni Rasulullah saw ) : Semoga Allah swt melimpahkan kebajikan sebesarbesarnya atas kepemimpinan anda sebagai seorang Nabi yang telah diberikan kepada ummatnya ! Sampaikan juga salamku kepada pasukan Muslimin , dan beritahukan bahwa Sa‘ad bin Rabi berkata kepada kalian : „Allah tidak akan memaafkan kalian jika kalian meninggalkan Nabi saw, sedangkan masih ada orang-orang hidup di antara kalian.“
Orang Anshar itu melanjutkan ceritanya :“Belum sampai kutinggalkan, Sa‘ad pun wafat. Aku lalu segera menghadap Nabi saw dan kusampaikan kepada beliau pesan-pesannya. Jika cinta seperti ini telah menyelinap dan bertahta di dalam hati setiap diri kaum Muslimin pada hari ini, sehingga menjauhkan mereka dari syahwat dan egoisme mereka, dapatlah saya katakan :“ Saat itulah kaum Muslimin akan tampil sebagai generasi baru dan mampu merebut kemenangan merka dari benteng-benteng kematian, serta mengalahkan musuh-musuh mereka betapapun rintangan yang harus dihadapinya.“
Jika anda bertanya tentang media untuk mencapai cinta ini, ketahuilah bahwa ia harus dicapai melalui banyak melakukan dzikir dan shalawat kepada Rasulullah saw banyak merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah swt dan nikmat-nikmat-Nya yang dilimpahkan kepada kita, menghayati sirah Rasulullah saw dan akhlak-akhlaknya yang kesemuanya itu dilakukan setelah kemantapan (istiqmah) dan ibadah secara khusyu‘ dan berkomunikasi dengan Allah swt di setiap saat.
10.  Seperti disebutkan dalam riwayat Bukhari bahwa Nabi saw memerintahkan penguburan mayat-mayar para Syuhada berikut bercak-bercak darah yang merekat pada mereka dan tanpa menshalatkannya.
Setiap satu kubur diisikan dua orang Syuhada. Peristiwa ini dijadikan dalil oleh para ulama bahwa orang yang syahid dalam pertempuran jihad tidak perlu dimandikan dan dishalatkan. Ia harus dikuburkan sebagaimana adanya. Imam Syafi‘I berkata : “Secara mutawatir hadits-hadits menyebutkan bahwa Nabi saw tidak menshalatkan mereka (syuhadah). Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi saw menshalatinya (Hamzah) sebanyak tujuh puluh kali , adalah riwayat lemah dan keliru.“
Para Ulama juga berpendapat , berdasarkan peristiwa ini, bahwa apabila keadaan dharurat maka dibolehkan penguburan lebih dari satu orang dalam satu kubur. Jika tidak dharurat tidak dibolehkan.
11.  Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan Rasulullah saw bersama para sahabatnya setelah sehari tiba di Madinah (mengejar kembali musuh Musyrikin di Hamra‘ul Asad), tampaklah kepada kita suatu pelajaran pertempuran Uhud secara jelas dan sempurna, di samping tampak pula bagi kita masing-masing dari kedua hasilnya baik yang positif ataupun yang negatif.
Secara jelas dan pasti, terlihat bahwa kemenangan ini hanya bisa dicapai dengan kesabaran, ketaatan kepada perintah-perintah pimpinan yang baik, dan tujuan yang murni semata-mata demi agama. Seperti telah kita ketahui, bahwa begitu Nabi saw mengumumkan agar pengejaran musuh dilakukan , para sahabat yang kemarin ikut berperang serta merta berkumpul dan melaksanakan tugas tanpa menghiraukan luka yang dideritanya bahkan belum ada yang sempat beristirahat di rumahnya. Mereka segera berangkat mengikuti Rasulullah saw mengejar kaum Musyrikin yang sedang dimabuk kemenangan.
Pada kali ini tidak seorang pun di antara kaum Muslimin yang memiliki ambisi untuk merebut ghanimah atau kepentingan duniawi. Mereka hanya ingin mencapai kemenangan atau syahid di jalan Allah, walaupun dengan berbalut luka yang masih mengucurkan darah. Tetapi bagaimanakah hasilnya? Kemenangan yang baru saja dirayakan oleh kaum Musyrikin ini tidak mampu mereka pertahankan atau lanjutkan, sebagaimana halnya luka parah yang diderita oleh kaum Muslimin itu tidak menghalangi sama sekali untuk merebut kembali kemenangan. Bagaimana jalan ke arah ini ? Jalannya ialah mukjizat Ilahi untuk menyempurnakan pelajaran dan pembinaan kepada kaum Muslimin.
Secara tiba-tiba hati kaum Musyrikin merasa gentar karena membayangkan apa yang diceritakan oleh seorang kawan mereka tentang kaum Msulimin, bahwa Muhammad dan para sahabatnya kali ini datang membawa kematian untuk disebarkan di antara mereka, sehingga mereka pun lari tunggang-langgang kembali ke Mekkah dengan hati kecut. Bagaimana rasa takut kepada kaum Muslimin ini dapat masuk ke dalam hati mereka , padahal mereka baru saja memukul mundur kaum Muslimin? Hal ini terjadi semata-mata karena kehendak Ilahi yang telah menjadikan peristiwa ini secara keseluruhan sebagai pelajaran penting bagi kaum Muslimin, baik yang bersifat positif maupun negatif.
Sebagai penutup dan kelengkapan pelajaran Uhud, turunlah firman Allah : “Orang-orang yang mentaati perintah Allah swt, dan Rasul-Nya setelah mereka mendapat luka (dalam pertempuran Uhud) bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan orang yang bertakwa ada pahala yang besar. (Yaitu) orang-orang yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan :“Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.“ Namun, justru perkataan itu menambah keimanan mereka. Dan mereka menjawab :“ Cukuplah Allah swt menjadi Penolong kami dan Allah swt adalah sebaik-baik Pelindung.“ Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa , mereka mengikuti keridhahan Allah swt. Dan Allah swt mempunyai karunia yang besar.“ (QS Ali-Imran : 172-174).[4]



C.     
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan berupa : Periode kelima merupakan periode dengan berbagai peperangan besar dialami oleh kaum muslimiin atau disebut dengan periode perang membela diri. Itu ditandai dengan peperangan pertama yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan disebut dengan perang Ghazwah (perang yang langsung dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw). Salah satunya adalah perang Badar dan Perang Uhud.
1.      Perang Badar (17 Maret 624/17 Ramadhan 2 H)
Perang Badar terjadi di lembah Badar, 125 km selatan Madinah. Perang Badar merupakan puncak pertikaian antara kaum muslimin Madinah dan musyriqin Quraisy Mekah. Peperangan ini disebabkan oleh tindakan pengusiran dan perampasan harta kaum muslim yang dilakukan oleh musyrikin Quraisy. Selanjutnya kaum Quraisy terus-menerus berupaya menghancurkan kaum muslimin agar perniagaan dan sesembahan mereka terjamin. Dalam peperangan ini kaum muslim memenangkan pertempuran dengan gemilang. Tiga tokoh Quraisy yang terlibat dalam perang Badar adalah Utbah bin Rabi’ah, Al-Walid dan Syaibah. Ketiganya tewas di tangan tokoh muslim, seperti Ali bin Abi Thalib, Ubaidah bin Haris dan Hamzah bin Abdul Muthalib. Adapun di pihak muslim, Ubaidah bin Haris meninggal karena terluka.[5]
2.      Banu Qainuqa

54
Diantara dua perang besar tersebut, terjadi pengkhianatan pertama kaum Yahudi terhadap kaum muslimin. Ketika suatu hari, seorang wanita berdiri kemudian terbukalah aurat bagian belakangnya. Orang-orang Yahudi yang melihatnya tertawa gelak-bahak. Wanita itu menjerit minta pertolongan. Mendengar teriakan itu, salah seorang dari kaum Muslimin yang berada di perniagaan itu secara kilat menyerang tukang sepuh Yahudi dan membunuhnya. Orang-orang Yahudi yang berada di tempat itu kemudian mengeroyoknya hingga orang Muslim itu pun mati terbunuh. Tindakan orang-orang Yahudi yang membunuh orang Muslim itu menyebabkan kemarahan kaum Muslimin, sehingga terjadilah peperangan antara kaum Muslimin dengan orang-orang Yahudi Banu Qunaiqa‘.  Dengan demikian, mereka adalah kaum Yahudi pertama kali melanggar perjanjian yang diadakan di antara mereka dengan Nabi saw. Insiden ini menurut riwayat ath-Thabary dan al-Waqidy, terjadi pada pertengahan bulan Syawawal tahun kedua Hijrah.[6]
3.      Perang Uhud  (Sya’ban 3 H)
Perang uhud terjadi di Bukit Uhud. Perang Uhud dilatarbelakangi kekalahan kaum Quraisy pada perang Badar sehingga timbul keinginan untuk membalas dendam kepada kaum Muslimin.  Pasukan Quraisy yang di pimpin Khalid bin Walid mendapat bantuan dari Kabilah Saqif, Tihamah dan Kinanah.Nabi Muhamma saw segera mengadakan musyawarah untuk mencari strategi perang yang tepat dalam menghadapi musuh. Kaum Quraisy akan di songsong di luar Madinah. Akan tetapi Abdullah bin Ubay membelot dan membawa tiga ratus orang Yahudi kembali pulang. Dengan membawa 700 orang yang tersisa, Nabi Muhammad saw melanjutkan perjalanan sampai ke bukit Uhud. Perang Uhud  di mulai dengan perang tanding yang di menangkan tentara Islam, tetapi kemenangan tersebut di gagalkan  oleh godaan harta, yakni prajurit islam sibuk memungut harta rampasan. Pasukan Khalid bin Walid memanfaatkan keadaan ini dan menyerang balik tentara Islam. Tentara Islam terjepit dan porak poranda ,sedangkan Nabi  SAW  sendiri terkena serangan musuh. Pasukan Quraisy kemudian mengakhiri pertempuran setelah mengira Nabi SAW terbunuh. Dalam peperangan ini, Hamzah bin Abdul  Muthalib (paman Nabi SAW)  terbunuh.[7]

B.     Saran
Dari penjelasan diatas, diharapkan mahasiswa dapat mengambil pelajaran yang dapat diambil dari Rasulullah SAW sebagai teladan yang baik, seperti kebijakan/keputusan Rasulullah SAW dalam memutuskan strategi dalam memerangi orang-orang Quraisy, sabar, serta selalu berusaha dan berdoa kepada Allah SWT.




DAFTAR PUSTAKA
Samsul Munir Amin. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah











[4]       https://alquranmulia.wordpress.com/2014/09/02/perang-uhud/ (diakses tanggal 20 Oktober 2015)
[5]          Samsul munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 1992, hlm.74
[7]          Ibid, hlm. 74

Komentar

Postingan Populer