PERIODE PERANG MEMBELA DIRI : PERANG BADAR, BANU QAINUQA DAN PERANG UHUD
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Sirah Nabawi
Dosen Pengampu :
Elfa Robi, Lc
Disusun Oleh :
Haifa
Nuha R. -
Irma Maelasari -
Jazilah Arabiyah 14.02.0157
JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
HUSNUL KHOTIMAH
KUNINGAN
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Allah SWT., karena atas
rahmat, karunia, dan kuasa-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Periode Perang Membela Diri
: Perang Badar, Banu Qainuqa dan Perang Uhud”
tanpa ada halangan apapun sesuai dengan waktu yang telah ditentukan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Sirah Nabawi.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW., para sahabatnya dan kepada umatnya hingga akhir zaman.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari
bahwa makalah ini tidak akan
tersusun dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai sumber referensi. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini tidak lupa juga penulis
mengucapkan banyak terima kasih atas
berbagai sumber referensi demi tersusunnya makalah ini.
Kami menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini tidak
luput dari kekurangan. Untuk itu, saran dan kritik konstruktif yang
membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, dengan
segala kerendahan hati, kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak
kesalahan. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi kami
dan pada umumnya bagi pembaca.
Kuningan, 01 November 2015
Penulis
|
i
|
i
|
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................ 1
C. Tujuan.............................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................... 3
A. Perang Badar................................................................................................... 3
Beberapa
Ibrah................................................................................................ 8
B. Banu Qainuqa’................................................................................................. 21
Beberapa
Ibrah................................................................................................ 24
C. Perang Uhud.................................................................................................... 32
Beberapa
Ibrah................................................................................................ 40
BAB III PENUTUP................................................................................................. 54
A. Kesimpulan...................................................................................................... 54
B. Saran................................................................................................................ 56
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 57
ii
|
ii
|
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah menyebarkan agama Islam mendapatkan berbagai
tantangan dan hambatan. Mulai dari ejekan, hinaan, cacian bahkan tindakan fisik
yang dilakukan kaum kafir. Akan tetapi hal itu tidak menyurutkan semangat
Rosulullah dalam membawa misi nya menyebarkan agama Islam yang
Rahmatallilngalamin yakni mendakwahkan risalah Islmiyah bagi seluruh umat di
alam semesta ini. Tak terkecuali dengan adanya peperangan pada zaman rosulullah
seperti perang Badar dan Uhud. Terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi
terjadinya sejumlah peperangan antara Nabi dengan kaum musrikin.
Diantaranya iri hati, cemburu serta dendam batin antara kaum musrikin kepada
agama Islam Khususnya Nabi Muhammad SAW.
Orang orang kafir semakin kuat untuk menggagalkan visi misi Rosulullah
dalam berdakwah. Berbagai cara licik mereka lakukan sehingga peperangan pun
tidak dapat dihindari.[1] Diantara
dua perang besar tersebut, terjadi pengkhianatan pertama kaum Yahudi terhadap
kaum muslimin pula yaitu yang dilakukan oleh banu Qainqa.
Berdasarkan masalah diatas, kami
akan membahasnya dalam makalah yang berjudul “Periode Perang Membela
Diri : Perang Badar, Banu Qainuqa dan Perang Uhud”
B.
Rumusan Masalah
2. Bagaimana
terjadinya penghiyanatan yang dilakukan oleh banu Qainuqa?
3. Apa
saja ibrah yang dapat di ambil dari ketiga peristiwa tersebut?
C. Tujuan
2. Untuk
mengetahui terjadinya penghiyanatan yang dilakukan oleh banu Qainuqa
3. Untuk
mengetahui ibrah yang dapat di ambil dari ketiga peristiwa tersebut
PEMBAHASAN
A.
Perang
Badar Kubra
Perang badar kubra adalah peperangan pertama yang
dilakukan rasulullah saw. Hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang lebih kuat
menyebutkan bahwa permulaan disyariatkan peperangan ialah sesudah Hijrah.
Perintah perang ini dilaksanakan pada bulan Shafar , awal bulan kedua belas
sejak hijrah Nabi saw ke Madinah. Saat itu Rasulullah saw keluar untuk pertama
kali dengan tujuan perang. Peperangan ini dikenal dengan perang “Widan” yang
bertujuan memerangi kaum Quraisy dan Nabi Hamzah. Tetapi Rasulullah saw tidak
melanjutkan peperangan karena Baniu hamzah menawarkan perdamaian. Setelah itu
Rasulullah saw, bersama para sahabatnya kembali ke Madinah tanpa melakukan
peperangan.
Mendengar berita mengenai rencana kedatangan kafilah
perdagangan kaum Quraisy dari Syam dibawah pimpinan Abu Sofyan bin Harb,
Rasulullah saw mengajak kaum Muslimin langsung dibawah komando beliau untuk
mencegat dan merampas kafilah tersebut dengan dalih sebagai ganti atas kekayaan
mereka yang dirampas oleh kaum Musyrikin di Mekkah. Anjuran Rasulullah saw
ini hanya disambut oleh sebagian kaum
Muslimin, karena sebagian yang lain menyangka tidak akan terjadi peperangan.
3
|
Sementara itu, menurut riwayat Ibnu Ishaq,
Rasulullah saw keluar bersama dengan 314 sahabatnya pada suatu malam di bulan
Ramadan dengan membawa 70 ekor unta. Setiap ekor unta ditunggangi secara
bergantian oleh dua atau tiga orang. Mereka tidak mengetahui akan keberangkatan
bala bantuan kaum Quraisy tersebut. Dalam pada itu, kafilah Abu Sofyan berhasil
lolos meninggalkan dan menyusuri air Badr dengan melalui jalan pantai menuju ke
arah Mekkah. Akhirnya ia berhasil menyelamatkan kafilah dan perniagaannya dari
ancaman bahaya.
Setelah mendengar berita keberangkatan kaum Quraisy,
Rasulullah saw segera meninta pandangan dari para sahabatnya. Kaum Muhajirin
mendukung dan memandang baik pendirian beliau. Diantaranya al-Miqdad bin Amer
dengan tegas menyatakan : “Ya Rasulullah saw, laksanakanlah apa yang telah
diperintahkan Allah kepada anda. Kami tetap bersama anda” Tetapi Rasulullah saw
terus memandang ke arah mereka dan berkata “Kemukakanlah pandangan kalian
kepadaku, wahai manusia” Kemudian Sa‘d bin Mu‘adz menjawab “Demi Allah,
tampaknya anda menghendaki ketegasan sikap kami, wahai Rasulullah saw?” Nabi
saw menjawab “Ya Rasulullah saw, laksanakanlah apa yang telah diperintahkan
Allah kepada anda. Kami tetap bersama anda”. Tetapi Rasulullah saw terus
memandang ke arah mereka dan berkata “Kemukakanlah pandangan kalian kepadaku,
wahai manusia” Kemudian Sa‘d bin Mu‘adz menjawab “Demi Allah, tampaknya anda
menghendaki ketegasan sikap kami, wahai Rasulullah saw?” Nabi saw menjawab “Ya,
benar!“ Sa‘d menjawab “Kami telah beriman kepada anda, dan kami pun membenarkan
kenabian dan kerasulan anda. Kami juga telah menjadi saksi bahwa apa yang anda
bawa adalah benar. Atas dasar itu kami telah menyatakan janji dan kepercayaan
kami untuk senantiasa taat dan setia kepada anda. Jalankanlah apa yang anda
kehendaki, kami tetap bersama anda. Demi Allah, seandainya anda menghadapi
lautan dan anda terjun ke dalamnya , kami pasti akan terjun bersama anda”.
Mendengar jawaban Sa‘d ini Rasulullah saw merasa
puas dan senang, kemudian beliau memerintahkan “Berangkatlah dengan hari
gembira, karena sesungguhnya Allah swt telah menjanjikan kepadaku salah satu di
antara dua golongan… Demi Allah aku seolah-olah melihat tempat-tempat mereka
bergelimpangan….”. Setelah itu Rasulullah saw mulai mencari berita tentang
pasukan Quraisy melalui para intel yang disebarkannya, sehingga kaum Muslimin
mengetahui bahwa mereka berjumlah sekitar sembilan ratus atau seribu orang dan
bahwa mereka datang disertai seluruh tokoh kaum Musyrikin.
Sebenarnya Abu Sofyan telah mengirim seorang kurir
ke Mekkah, memberitahukan bahwa kafilah telah selamat. Tetapi Abu Jahal tetap
bersikeras untuk melanjutkan perjalanan, sembari mengatakan “Demi Allah, kami
tidak akan pulang sebelum tiba di Badr. Di sana kami akan tinggal selama tiga
hari memotong ternak, makan beramai-ramai dan minum arak sambil menyaksikan
perempuan-perempuan menyanyikan lagu-lagu hiburan. Biarlah seluruh orang Arab
mendengar tentang perjalanan kita semua dan biarlah mereka tetap gentar kepada
kita selamalamanya”. Kemudian mereka bergerak sampai tiba di pinggir sebelah
seberang lembah Badr. Sedangkan Rasulullah saw telah tiba di pinggir lembah
seberang lain dengan posisi nyaris sehadap dengan lawan, dekat mata air Badr.
Al Habbab bin Mundzir bertanya kepada Rasulullah saw
“Ya Rasulullah saw, apakah dalam memilih tempat ini anda menerima wahyu dari
Allah swt, yang tidak dapat diubah lagi? Ataukah berdasarkan tipu muslihat
peperangan?” Rasulullah saw menjawab “Tempat ini kupilih berdasarkan pendapat
dan tipu muslihat peperangan” kemudian Al- Habbab mengusulkan “Ya Rasulullah
saw, jika demikian, ini bukan tempat yang tepat. Ajaklah pasukan pindah ke
tempat air yang terdekat dengan musuh, kita membuat kubu pertahanan disana dan
menggali sumur-sumur di belakangnya. Kita membuat kubangan dan kita isi dengan
air hingga penuh. Dengan demikian kita kana berperang dalam keadaan mempunyai
persediaan air minum yang cukup, sedangkan musuh tidak akan memperoleh air
minum” Rasulullah saw menjawa “pendapatmu sungguh baik”.
Rasulullah saw kemudian bergerak dan pindah ke
tempat yang diusulkan oleh Habbab. Di samping itu SA‘d bin Mu‘adz mengusulkan
supaya dibuatkan Arisy (kemah) untuk Nabi saw sebagai tempat perlindungan
dengan harapan supaya bila ada sesuatu dan lain hal yang tidak diharapkan
tejradi Nabi saw dapat kembali dengan mudah dan selamat kepada kaum muslimin di
Madinah dan agar mereka tidak lemah semangat karena ketidak beradaan nabi saw
diantara mereka. Usulan ini disetujui Nabi saw kemudian rasulullah saw
menenangkan jiwa para sahabatnya dengan adanya dukungan dan pertolongan Allah
swt, sampai-sampai Rasulullah saw menegaskan kepada mereka “Disini tempat
kematian si Fulan dan si Fulan (dari kaum Musyrikin)” seraya meletakkan telapak
tangannya di atas tanah.
Akhirnya nama-nama yang disebutkan Nabi saw itu
ternyata benar bergelimpangan tepat di tempat yang telah ditunjukkannya itu.
Selanjutnya Rasulullah saw dengan khusyu‘ memanjatkan do’a kepada Allah swt
pada malam Jum‘at tanggal 17-Ramadhan. Diantara yang diucapkannya ialah “Ya
Allah, inilah kaum Quraisy yang datang
dengan segala kecongkakan dan kesombongan untuk memerangi engkau dan
mendustakan rasul-Mu. Ya Allah, tunaikanlah janji kemenangan yang telah engkau
berikan kepadaku. Ya Allah, kalahkanlah mereka esok hari”. Beliau terus
memanjatkan do’a kepada Allah swt dengan merendah diri dan khusyu‘ seraya
menengadahkan kedua telapak tangannya ke langit, sehingga karena mereka iba Abu
Bakar berusaha menenangkan hati Nabi saw dan berkata kepadanya “Ya Rasul Allah,
demi diriku yang berada di tangan-Nya, bergembiralah. Sesungguhnya Allah pasti
akan memenuhi janji yang telah diberikan kepadamu”. Demikian pula kaum
muslimin, mereka ikut berdo’a kepada Allah swt memohon pertolongan dengan penuh
ikhlas dan merendahkan diri di Hadapan-Nya.
Pada suatu hari Jum‘at tahun kedua Hijrah, mulailah
pertempuran antara kaum Musyrikin dengan kaum Muslimin. Memulai pertempuran
ini, Rasulullah saw mengambil segenggam kerikil kemudian dilemparkannya ke arah
kaum Quraisy seraya berkata : “Hancurlah wajah-wajah mereka”, kemudian
meniupkannya ke arah mereka sehingga menimpa mata semua pasukan Quraisy. Selain
itu, Allah swt juga mendukung kaum Muslimin dengan mengirim bala bantuan
Malaikat. Akhirnya peperangan dimenangkan oleh kaum Muslimin dengan suatu
kemenangan yang besar. Dari pihak kaum Musyrikin , terbunuh 70 orang dan yang
tertawan 70 orang. Sedangkan dari pihak kaum Muslimin gugur mencapai syahid 14
orang.
Mayat-mayat kaum Musyrikin yang tebunuh dalam
peperangan ini termasuk para tokoh mereka dilemparkan ke dalam sumur tua di
Badr. Ketika mayat-mayat itu dilemparkan ke dalamnya, Rasulullah saw berdiri di
mulut perigi itu seraya memanggil nama-nama mereka berikut nama bapak-bapaknya
: “Wahai Fulan bin Fulan bin Fulan, apakah kalian telah berbahagia karena
kalian mentaati Allah swt dan Rasul-Nya? Sesungguhnya kami telah menerima
kebenaran janji Allah swt, yang diberikan kepada kami, apakah kalian juga telah
menyaksikan kebenaran yang dijanjikan Allah swt kepada kalian?”
Mendengar itu, Umar ra bertanya : “Ya,Rasulullah
kenapa anda mengajak bicara jasad yang sudah tidak bernyawa ?“ Beliau menjawab
: “Demi Dzat yang diri Muhammad berada di tangann-Nya, kalian tidak lebih
mendengar perkataanku daripada mereka”. Kemudian Rasulullah saw meminta
pendapat para sahabatnya, berkenaan dengan masalah tawanan. Abu Bakar ra,
mengusulkan supaya Nabi saw membebaskannya dengan mengambil tebusan dari mereka
sehingga harta tebusan itu diharapkan menjadi pemasok kekuatan material bagi
kaum Muslimin, disertai harapan mudah-mudahan Allah swt menunjuki mereka.
Sementara Umar Bin Khathab ra, mengusulkan supaya mereka dibunuh saja, karena
mereka adalah tokoh dan gembong kekafiran. Tetapi Nabi saw cenderung kepada
pendapat dan usulan Abu Bakar ra yang memberikan belas kasihan kepada mereka
dan mengambil tebusan.
Akhirnya pendapat ini pun dilaksanakan
oleh Nabi saw. Tetapi beberapa ayat Al-Quran kemudian diturunkan menegur
kebijaksanaan Nabi saw dan mendukung pendapat Umar. Firman Allah : “Tidak patut
bagi seornag Nabi mempunyai tawanan ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi
…” Sampai dengan firman Allah swt : “Maka makanlah dari sebagian rampasan perang
yang telah kamu ambil itu …” QS Al-Anfal (8) : 67-69.
Beberapa Ibrah :
Perang Badr Kubra ini mengandung beberapa pelajaran
dan ibrah yang sangat penting, di samping mengandung mu‘juzat besar berkenaan
dengan dukungan dan pertolongan Allah swt kepada kaum Muslimin yang berpegang
teguh kepada prinsip-prinsip keimanan mereka dan keikhlasan dalam melaksanakan
tanggung jawab agama mereka.
1.
Sebab pertama bagi terjadinya
perang Badr ini menunjukkan bahwa motif utama kaum Muslimin keluar bersama
Rasulullah saw. bukan untuk berperang, tetapi karena didorong oleh tujuan
mencegat kafilah Quraisy yang datang dari Syam di bawah kawalan Abu Sofyan.
Tetapi kemudian Allah swt menghendaki ghanimah (rampasan perang) dan kemenangan
yang lebih besar bagi para hambah-Nya, disamping merupakan tindakan yang lebih
mulia dan lebih sesuai dengan sasaran yang harus dicapai oleh setiap Muslim
dalam kehidupannya. Allah swt meloloskan kafilah yang menjadi tujuan utama
mereka, dan menggantikannya dengan peperangan yang sama sekali tidak pernah
mereka duga.
Peristiwa
ini menunjukkan dua hal :
a.
Pertama,
Bahwa semua harta kekayaan kaum kafir harbi oleh kaum Muslimin dianggap sebagai harta yang tidak mulia. Boleh dirampas dan dikuasai oleh kaum Muslimin manakala mereka mampu mengambilnya. Apa saja yang telah jatuh ke tangan kaum Muslimin dianggap telah menjadi milik mereka. Hukum ini telah disepakati oleh para fuqaha. Di samping itu, kaum Muhajirin yang telah diusir dari negeri mereka di Mekkah mempunyai alasan lain untuk merampas kafilah Quraisy, yaitu usaha pengambilan hak ganti rugi dari harta kekayaan mereka yang masih tertinggal di Mekkah dan dikuasai oleh kaum Musyrikin.
Bahwa semua harta kekayaan kaum kafir harbi oleh kaum Muslimin dianggap sebagai harta yang tidak mulia. Boleh dirampas dan dikuasai oleh kaum Muslimin manakala mereka mampu mengambilnya. Apa saja yang telah jatuh ke tangan kaum Muslimin dianggap telah menjadi milik mereka. Hukum ini telah disepakati oleh para fuqaha. Di samping itu, kaum Muhajirin yang telah diusir dari negeri mereka di Mekkah mempunyai alasan lain untuk merampas kafilah Quraisy, yaitu usaha pengambilan hak ganti rugi dari harta kekayaan mereka yang masih tertinggal di Mekkah dan dikuasai oleh kaum Musyrikin.
b. Kedua,
Kendatipun tindakan ini dibolehkan, tetapi Allah menghendaki kepada hamba-Nya yang beriman suatu tujuan yang lebih mulia dari pada tindakan tersebut dan lebih sesuai dengan tugas yang menjadi sasaran penciptaan mereka, yaitu berdakwah kepada agama Allah swt. Jihad di jalan Allah swt dan berkorban dengan nyawa dan harta demi meninggikan kalimat Allah swt. Itulah sebabnya, kemudian Abu Sofyan berhasil lolos bersama kafilahnya dari kaum Muslimin. Sementara itu pasukan Quraisy menderita kekalahan besar di medan jihad yang berkecamuk antara kaum Muslimin dan kaum Musyrikin. Hal ini merupakan tarbiyah Illahiyah bagi kaum Muslimin yang dengan jelas nampak tergambar dalam firman Allah swt : “Dan (ingatlah), ketika Allah swt, menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar (membuktikan kebenaran) dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir”. QS al-Anfal (8) : 7.
Kendatipun tindakan ini dibolehkan, tetapi Allah menghendaki kepada hamba-Nya yang beriman suatu tujuan yang lebih mulia dari pada tindakan tersebut dan lebih sesuai dengan tugas yang menjadi sasaran penciptaan mereka, yaitu berdakwah kepada agama Allah swt. Jihad di jalan Allah swt dan berkorban dengan nyawa dan harta demi meninggikan kalimat Allah swt. Itulah sebabnya, kemudian Abu Sofyan berhasil lolos bersama kafilahnya dari kaum Muslimin. Sementara itu pasukan Quraisy menderita kekalahan besar di medan jihad yang berkecamuk antara kaum Muslimin dan kaum Musyrikin. Hal ini merupakan tarbiyah Illahiyah bagi kaum Muslimin yang dengan jelas nampak tergambar dalam firman Allah swt : “Dan (ingatlah), ketika Allah swt, menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar (membuktikan kebenaran) dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir”. QS al-Anfal (8) : 7.
2.
Kalau kita perhatikan bagaimana
Rasulullah saw duduk bersama para sahabatnya untuk meminta pandangan mereka
dalam menghadapi masalah yang mendadak (perang), setelah kafilah lolos dari
mereka dan muncul cebagai gantinya pasukan berkekuatan senjata, maka dapat
dicatat dua pelajaran yang sangat penting.
a.
Pertama,
Komitmen Rasulullah saw kepada prinsip musyawarah dengan para sahabatnya. Jika kita telusuri kehidupan Rasulullah saw akan kita temukan bahwa Nabi saw selalu berpegang teguh kepada prinsip syuro ini dalam menghadapi semua masalah yang tidak ditandaskan secara tegas oleh wahyu Allah swt, khususnya maslah-masalah yang berkaitan dengan tadbir (perencanaan) dan siyasah syariyah (kebijaksanaan). Oleh sebab itu, kaum Muslimin menyepakai bahwa syuro, dalam masalah yang tidak ditegaskan oleh nash al-Quran dan as- Sunnah, adalah merupakan prinsip perundang-undangan yang tidak boleh diabaikan. Adapun seandainya manyangkut masalah yang sudah ditegaskan oleh al-Quran atau Hadits, maka tidak diperlukan lagi adanya syura dan bahwa tidak dikalahkan oleh kekuatan apa pun.
Komitmen Rasulullah saw kepada prinsip musyawarah dengan para sahabatnya. Jika kita telusuri kehidupan Rasulullah saw akan kita temukan bahwa Nabi saw selalu berpegang teguh kepada prinsip syuro ini dalam menghadapi semua masalah yang tidak ditandaskan secara tegas oleh wahyu Allah swt, khususnya maslah-masalah yang berkaitan dengan tadbir (perencanaan) dan siyasah syariyah (kebijaksanaan). Oleh sebab itu, kaum Muslimin menyepakai bahwa syuro, dalam masalah yang tidak ditegaskan oleh nash al-Quran dan as- Sunnah, adalah merupakan prinsip perundang-undangan yang tidak boleh diabaikan. Adapun seandainya manyangkut masalah yang sudah ditegaskan oleh al-Quran atau Hadits, maka tidak diperlukan lagi adanya syura dan bahwa tidak dikalahkan oleh kekuatan apa pun.
b. Kedua,
Bahwa kondisi-kondisi peperangan atau perjanjian antara kaum Muslimin dengan ummat lain, boleh tunduk kepada apa yang disebut dengan siyasah syariyah (kebijaksanaan) atau hukum al-Imamah (keputusan pemimpin). Sebagai penjelasannya bahwa, pensyariatan perdamaian dan perjanjian ini tidak boleh dibatalkan atau dicabut dari hukum syariat Islam. Tetapi bagian18 bagian dari bentuk-bentuk pelaksanaannya yang beraneka ragam itu boleh disesuaikan dengan situasi jaman, tempat dan kondisi kaum Muslimin dan musuh mereka. Pengambilan kebijaksanaan ini pun hanya dilakukan oleh seorang Imam yang memiliki pandangan yang akurat, adil, berpegang teguh kepada nilai-nilai agama, dan kebijaksanaan yang bersumber dari penguasaan agama yang mendalam serta dilakukannya secara ikhlas, di samping harus tetap melakukan syura dengan kaum Muslimin dan memanfaatkan berbagai pengalaman dan kemampuan mereka. Jika seorang pemimpin pemerintahan (negara Islam) berpendapat bahwa sebaiknya kaum Muslimin tidak menghadapi musuh mereka dengan kekuatan dan perang, yang pendapatnya ini dikaji dengan cermat dan disepakati oleh Majlis syura maka dia boleh memilih sikap damai dengan mereka (musuh). Sikap ini tidak bertentangan dengan nash-nash syariat yang telah ditetapkan sambil menunggu situasi yang tepat dan cocok untuk melakukan peperangan dan melancarkan jihad. Sebagaimana dia (Imam) boleh menggerakkan rakyatnya untuk melakukan peperangan manakala dia memandang baik untuk melakukannya.
Bahwa kondisi-kondisi peperangan atau perjanjian antara kaum Muslimin dengan ummat lain, boleh tunduk kepada apa yang disebut dengan siyasah syariyah (kebijaksanaan) atau hukum al-Imamah (keputusan pemimpin). Sebagai penjelasannya bahwa, pensyariatan perdamaian dan perjanjian ini tidak boleh dibatalkan atau dicabut dari hukum syariat Islam. Tetapi bagian18 bagian dari bentuk-bentuk pelaksanaannya yang beraneka ragam itu boleh disesuaikan dengan situasi jaman, tempat dan kondisi kaum Muslimin dan musuh mereka. Pengambilan kebijaksanaan ini pun hanya dilakukan oleh seorang Imam yang memiliki pandangan yang akurat, adil, berpegang teguh kepada nilai-nilai agama, dan kebijaksanaan yang bersumber dari penguasaan agama yang mendalam serta dilakukannya secara ikhlas, di samping harus tetap melakukan syura dengan kaum Muslimin dan memanfaatkan berbagai pengalaman dan kemampuan mereka. Jika seorang pemimpin pemerintahan (negara Islam) berpendapat bahwa sebaiknya kaum Muslimin tidak menghadapi musuh mereka dengan kekuatan dan perang, yang pendapatnya ini dikaji dengan cermat dan disepakati oleh Majlis syura maka dia boleh memilih sikap damai dengan mereka (musuh). Sikap ini tidak bertentangan dengan nash-nash syariat yang telah ditetapkan sambil menunggu situasi yang tepat dan cocok untuk melakukan peperangan dan melancarkan jihad. Sebagaimana dia (Imam) boleh menggerakkan rakyatnya untuk melakukan peperangan manakala dia memandang baik untuk melakukannya.
Demikianlah kesepatakan yang telah dibuat oleh para
Fuqaha dan sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam Sirah Nabi saw.
Kecuali jika musuh menyerang kaum Muslimin di dalam negeri mereka, maka kaum
Muslimin wajib melawannya dengan mengerahkan segenap kekuatan apapun situasi
dan sarana yang mereka miliki. Bahkan kewajiban ini berlaku bagi semua kaum
Muslimin baik lelaki maupun wanita yang memenuhi syarat-syarat taklif
(pembebanan yang diembankan sesuai dengan persyaratan).
Disamping itu, sebagian Fuqaha menetapkan bahwa, syura ini diwajibkan
tetapi seorang penguasa (pemimpin pemerintahan) tidak harus mengambil pendapat
mayoritas seandainya pendapat mereka bertentangan dengan pendapatnya. Mengenai
hal ini al-Qurthuby berkata : “Orang yang meminta pendapat harus memperhatikan
berbagai pendapat yang dilontarkan dan mencari yang paling dekat kepada
al-Quran dan as-Sunnah jika memungkinkannya. Jika Allah swt, menunjukkannya
kepada pendapat lain yang ia kehendaki maka ia boleh memutuskan dan
melaksanakannya seraya bertawakal kepada Allah swt.
3.
Barangkali timbul pertanyaan; mengapa
jawaban Abu Bakar, Umar dan al-Miqdad belum memuaskan hati Rasulullah saw. Tetapi masih terus memandang ke arah mereka
sampai Sa‘d bin Mu‘adz berbicara kemudian barulah hati Rasulullah saw merasa
puas? Jawabannya bahwa Nabi saw hanya ingin mengetahui pendapat kaum Anshar
dalam masalah tersebut. Apakah mereka akan mengemukakan pendapat dan keputusan
yang didasarkan kepada mu‘ahadah (janji setia) diantara mereka dengan
Rasulullah saw , yakni janji setia yang bersifat khusus dan harus ditaati, yang
dengan demikian berarti Nabi saw tidak punya hak untuk memaksa mereka berperang
bersamanya dan memberikan pembelaan terhadapnya.
Kecuali di dalam kota Madinah, sebagiamana dinyatakan
pada butir janji setia tersebut. Ataukah mereka akan mengemukakan pendapat berdasarkan
rasa ke-Islaman mereka dan mu‘ahadah kubra (janji setia besar) mereka terhadap
Allah? Atas dasar ini, berarti Nabi saw memiliki hak untuk menjadi penerima
amanah diantara mereka guna melaknsakan mu‘ahadah kubra tersebut dan adalah
kewajiban mereka memenuhi hak-hak mu‘ahadah ini serta melaksanakan
tanggung-jawabnya secara sempurna.
Mengamati jawaban Sa‘d bin Mu‘adz, dapatlah diketahui
bahwa mubaya‘ah (bai’at/janji setia) kaum Anshar yang diberikan kepada
Rasulullah saw di Mekkah sebelum Hijrah, tidak lain justru merupakan mubaya‘ah
kepada Allah swt. Mereka tidak pernah beranggapan lain, ketika memberikan
pembelaan kepada Rasulullah saw setelah berhijrah kepada mereka, kecuali
sebagai pembelaan terhadap agama dan syariat Allah swt.
Persoalannya bukan sekedar menyangkut nash-nash
(butir-butir) tertentu yang telah mereka sepakati bersama Rasulullah saw,
sehingga mereka tidak mau komit dengan hal-hal di luar butir-butir yang telah
dibuat, tetapi persoalannya bahwa dengan mubaya‘ah itu berarti mereka telah
menandatangai suatu perjanjian yang dimuat oleh firman Allah swt : “Sesungguhnya Allah swt, telah membeli dari
orang-orang yang beriman (Mukmin) diri dan harta mereka dengan memberikan surga
untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah swt, lalu mereka membunuh atau
terbunuh (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah swt di dalam Taurat,
Injil dan al-Quran. Siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada
Allah swt? Bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu. Itulah
kemenangan yang besar”. QS At-Taubah (9) : 111
Oleh sebab itu Sa‘d bin Mu‘adz menjawab dengan ucapannya : “Kami
telah beriman kepada Anda dan kamipun membenarkan kenabian dan kerasulan anda.
Kami juga telah menjadi saksi bahwa apa yang anda bawa adalah kebenaran. Atas
dasar itu kami telah menyatakan janji dan kepercayaan kami untuk taat dan setia
kepada anda. Jalankanlah apa yang anda kehendaki, kami tetap bersama anda
(yakni tetap berjalan bersama anda sesuai dengan perjanjian yang lebih besar
daripada perjanjian yang telah kita sepakati di Bai‘at Aqabah pertama …”
4.
Dalam melaksanakan jihad dan
lainnya, Imam dibolehkan menggunakan “intel” (spionase, mata-mata) yang
disebarkan di kalangan musuh guna membongkar dan mengetahui perencanaan dan
kondisi kekuatan mereka. Untuk melaksanakan tujuan ini dibolehkan menggunakan
beraneka ragam sarana, asalkan tidak merusak kepentingan yang lebih besar
ketimbang kepentingan mengetahui kondisi lawan. Mungkin sarana itu berupa
kerahasiaan atau semacam siasat dan tipu daya peperangan. Semua ini dibolehkan
dan baik karena merupakan sarana yang diperlukan untuk kemaslahatan kaum
Muslimin dan pemeliharaan mereka.
Disebutkan di dalam buku-buku Sirah, bahwa ketika Nabi saw turun di
dekat badr, beliau bersama seorang sahabatnya naik unta dan bertemu dengan
seorang tua (syaikh) dari Arab, kemudian Nabi saw bertanya kepadanya tentang
pasukan Quraisy dan Muhammad beserta para sahabatnya. Orang tua itu bertanya :
“Aku tidak akan menyampaikan berita kepada kalian berdua sebelum kalian
menjelaskan kepadaku siapa kalian berdua ini?” Nabi saw berkata ; “Kami akan
menjelaskan setelah anda memberikan berita kepada kami”. Orang tua itu menyahut
: “Apakah ini ditukar dengan itu?” Jawab Nabi saw “..Ya“. Kemudian orang tua
itu menjelaskan kepada Nabi saw apa yang diketahuinya tentang kaum Musyrikin
dan tentang Nabi saw beserta para sahabatnya. Setelah selesai menjelaskan,
orang tua itu bertanya “Sekarang siapakah kalian berdua ini?” Nabi saw menjawab
: “Kami dari air”. Kemudian Nabi saw meninggalkannya, akhirnya orang tua itu
bertanya-tanya : “Dari air mana? “Apakah dari air Iraq?”.
5.
Pembagian Tindakan Nabi saw
Dialog yang berlangsung antara Nabi saw dan Habbab bin
Mundzir (hadits sanadnya shahih) tentang penempatan pasukan, menunjukkan bahwa
tindakan-tindakan Nabi saw tidak semuanya bernilai tasyri‘ (menjadi syariat).
Bahkan dalam banyak hal Nabi saw sering bertindak dalam statusnya sebagai
manusia biasa yang berpikir dan membuat perencanaan. Tidak diragukan lagi
bahwa, kita tidak diwajibkan selalu mengikuti Nabi saw dalam tindakan-tindakan
beliau ini.
Di antaranya ialah tindakan Nabi saw dalam menentukan
tempat dalam peperangan ini. Seperti telah kita ketahui bahwa Habbab
mengusulkan supaya Nabi saw pindah ke tempat lain dan Nabi saw pun
menyetujuinya. Usulan Habbab itu dikemukakan kepada Nabi saw setelah
mendapatkan penegasan bahwa pilihan Nabi saw terhadap termpat tersebut bukan
atas perintah wahyu Allah swt.
Banyak tindakan Nabi saw yang masuk ke dalam kategori
siyasah syari’ah (kebijaksanaan) sebagai Imam dan kepala Negara bukan sebagai
Rasul yang menyampaikan wahyu dari Allah. Seperti dalam hal pemberian dan
perencanaan-perencanaan militernya. Masalah ini oleh para Fuqaha dibahas secara
detail yang tidak mungkin kami kemukakan
dalam kesempatan ini.
6.
Pentingnya Merendahkan Diri Kepada
Allah dan Meminta dengan Sangat Kepada-Nya.
Seperti telah kita ketahui bahwa Nabi saw menenangkan
hati para sahabatnya dengan menegaskan bahwa kemenangan berada di pihak kaum
Muslimin , sampai-sampai Nabi saw menunjuk ke beberapa tempat di tanah seraya
berkata : “Ini adalah tempat kematian si Fulan”. Dan sebagaimana disebutkan
oleh Hadits shahih, nama-nama yang disebutkan Nabi saw itu roboh terbunuh tepat
di tempat yang telah ditunjukannya.
Sekalipun demikian, Nabi saw tetap berdiri sepanjang
malam Jum‘at itu di dalam kemah yang dibuat khusus bagi beliau, memanjatkan
do’a kepada Allah swt dengan penuh khusyuk dan merendah diri seraya
menengadahkan kedua telapak tangannya ke langit memohon kepada Allah swt agar
pertolongan yang dijanjikan-Nya ditunaikan. Dalam munajat ini bahkan Nabi saw
sampai tidak menyadarai kalau selendangnya terjatuh, sehingga Abu Bakar merasa
kasihan terhadapnya kemudian memberanikan diri berkata kepada Nabi saw : “Cukup
Ya Rasulullah saw, sesungguhnya Allah swt pasti akan menunaikan janji-Nya yang
telah diberikan kepadamu”.
Mengapa Nabi saw sampai merendahkan dirinya sedemikian
rupa di hadapan Allah swt, padahal beliau telah yakin akan mendapatkan
pertolongan sampai beliau menyatakan : “Seolah-olah
aku melihat tempat kematian mereka”. Bahkan Nabi saw menentukan beberapa
tempat kematian mereka di tanah. Jawabannya bahwa keyakinan dan keimanan Nabi
saw terhadap kemenangan hanyalah merupakan pembenaran kepada janji yang telah
diberikan Allah swt kepada Rasul-Nya. Tidak diragukan lagi bahwa Allah swt
tidak akan menyalahi janji atau mungkin nabi saw diberi kabar kemenangan itu di
tengah peristiwa tersebut.
Adapun kekhusyu‘kan Nabi saw dalam berdo’a dan
menengadahkan kedua telapak tangannya ke langit, maka hal itu sudah menjadi
tugas ubudiyah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Dan itulah harga
kemenangan secara kontan, kemenangan itu tiada lain betapapun didukung oleh
sarana dan perjuangan yang baik hanyalah berasal dari Allah swt dan dengan
persetujuan-Nya. Allah swt tidak menginginkan kita kecuali untuk menjadi
hamba-Nya yang baik secara tabii atau ikhtiari (terpaksa atau tidak). Tiadka
ada sesuatu yang lebih besar untuk mendekatkan diri kepada Allah swt , kecuali
sikap ‚uudiyah kepada-Nya. Tidak ada perantara yang lebih diterima oleh Allah
swt selain daripada perendahandiri , sedemikian rupa melalui ubudiyah di
hadapan Allah swt.
Segala bentuk musibah dan bencana yang menimpa manusia
dalam kehidupan ini tiada lain hanyalah merupakan peringatan yang menyadarkannya
terahadap kewajiban, ‘ubudiyah kepada Allah swt dan mengingatkannya kepada
Keagungan dan Kekuasaan Allah swt Yang Maha Besar. Agar manusia lari menuju
Allah swt yang menyatakan segala kelemahannya di hadapan Allah swt serta
memohon perlindungan kepada-Nya dari segala fitnah dan cobaan. Apabila manusia
telah menyadari hakekat ini dan menghayati maka dia telah sampai kepada puncak
yang diperintahkan Allah swt kepada semua hamba-Nya.
‘Ubudiyah yang tercermin dalam kekhusyu‘an do’a Nabi
saw meminta kemenangan kepada Allah swt merupakan harga yang berhak mendapatkan
dukungan Ilahi Yang Maha Agung di dalam pertempuran tersebut. Hal ini secara
tegas dinyatakan oleh ayat berikut : “(ingatlah)
ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabb-mu lalu diperkenankan-Nya
bagimu,“Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan
seribu malaikat yang datang secara bergelombang”. QS Al-Anfal : 9
Kemantapan Rasulullah saw melalui ‘ubudiyah inilah
yang membuat Rasul saw yakin akan datangnya kemenangan bagi kaum Muslimin.
Bandingkanlah sikap ‘ubidiyah yang ditunjukkan Nabi saw ini beserta
hasil-hasilnya itu dengan sikap congkak dan sombong yang ditunjukkan oleh Abu
Jahal ketika berkata : “Kami tidak akan pulang sebelum tiba di Badr. Disana
kami akan memotong ternak, makan beramai-ramai dan minum arak sambil
menyaksikan perempuan-perempuan yang menyanyikan lagu-lagu hiburan. Biarlah
semua orang Arab mendengar berita tentang perjalanan kita semua dan biarlah
mereka tetap gentar kepada kita selama-lamanya” beserta segala akibat yang
ditimbulkannya.
‘Ubudiyah dan kepatuhan kepada Allah swt , menghasilkan izzah dan
kemuliaan yang membuat wajah dunia tertunduk kepadanya. Sementara itu
kecongkakan dan kesombongan merupakan kepalsuan dan pusara kehinaan yang digali
oleh dan untuk para pemilik sifat dan sikap tersebut. Kuburan tempat dimana
mereka akan dituangi khamar, kehinaan dan digendongi lagu-lagu kenistaan.
Itulah sunatullah yang berlaku di alam ini, manakala ‘ubudiyah yang murni
kepada Allah swt bertemu dan berhadapan
dengan kecongkakan dan kesombongan.
7.
Bala Bantuan Malaikat pada Perang
Badr
Perang Badr mencatat salah satu mukjizat terbesar
yaitu mukjizat dukungan dan kemenangna kaum Muslimin yang sejati. Dalam
peperangan ini Allah swt telah mendukung kaum Mulsimin dengan mengirim malaikat
yang ikut berperang bersama mereka. Hakekat ini telah disebutkan secara tegas
oleh al-Quran dan as-Sunnah.
Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa Nabi saw pingsan
beberapa saat di dalam kemahnya kemudian sadar kembali lalu berkata kepada Abu
Bakar : “Hai Abu Bakar, gembiralah! pertolongan Allah swt telah datang
kepadamu. Itulah Jibril memegang tali kekang dan menuntun kudanya”.
Turunnya para malaikat untuk berperang bersama kaum Muslimin hanyalah
merupakan peneguhan hati kaum Muslimin dan jawaban secara empirik (istijabah
hissiyah) terhadap istiqasah (permohonan pertolongan) demi menghadapi
peperangan pertama di jalan Allah swt melawan musuh yang jumlahnya tiga kali
lipat lebih banyak. Sesungguhnya kemenangan itu semata-mata datangnya dari
Allah swt. Para Malaikat itu sendiri tidak memiliki pengaruh secara langsung
(ta‘sir dzati). Sebagai penjelasan terhadap masalah inilah maka Allah swt
berfirman menjelaskan turunnya malaikat : “Dan
Allah swt tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan malaikat) melainkan
sebagai kabar gembira agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan
itu hanylaah dari sisi Allah swt. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”. QS Al-Anfal : 10
8.
Kehidupan Barzakh bagi Orang Mati
Berdirinya Rasulullah saw di mulut sumur seraya menyebut dan
memanggil nama mayat-mayat kaum Musyrikin dan mengajaknya berbicara, juga
jawaban Rasulullah saw terhadap pertanyaan Umar ra pada saat itu merupakan
dalil yang tegas bahwa orang-orang yang sudah meninggal memiliki kehidupan
ruhani secara khusus, kita tidak mengetahui hakekat dan kaifiatnya. Juga
menunjukkan bahwa ruh-ruh orang-orang yang telah meninggal tetap berada di
sekitar jasad mereka. Dari sinilah kita dapat menggambarkan adanya siksa kubur
dan kenikmatannya. Hanya saja tidak dapat diketahui oleh akal dan indera kita
di dunia ini. Karena kehidupan ruhani tersebut (alam ghaib) yang tidak dapat
dijangkau oleh indera dan pengalaman rasio yang bersifat empirik. Mengimaninya
adalah merupakan jalan satusatunya untuk bisa menerima hakekat ini, setelah
semua dalil-dalilnya sampai kepada kita melalui sanad yang shahih.
9.
Masalah Tawanan Perang
Menyangkut masalah tawanan perang dan musyawarah
Rasulullah saw dengan para sahabtnya , merupakan pembahasan yang sarat oleh
pelajaran penting, antara lain :
a.
Pertama,
Tawanan dan Ijtihad Rasulullah saw. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Nabi saw mempunyai hak berijtihad. Pendapat ini dikemukakan oleh Jumhur ulama ushul. Jika Rasulullah saw punya ijtihad maka berarti ijtihad beliau bisa benar dan salah. Hanya saja kesalahan ijtihad Rasulullah saw tidak akan berkepanjangan karena beliau selalu dikoreksi langsung oleh al-Quran. Jika tidak ada ayat al- Quran yang menegurnya berarti ijtihad Rasulullah saw benar dalam Pengetahuan Allah swt.
Tawanan dan Ijtihad Rasulullah saw. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Nabi saw mempunyai hak berijtihad. Pendapat ini dikemukakan oleh Jumhur ulama ushul. Jika Rasulullah saw punya ijtihad maka berarti ijtihad beliau bisa benar dan salah. Hanya saja kesalahan ijtihad Rasulullah saw tidak akan berkepanjangan karena beliau selalu dikoreksi langsung oleh al-Quran. Jika tidak ada ayat al- Quran yang menegurnya berarti ijtihad Rasulullah saw benar dalam Pengetahuan Allah swt.
b. Kedua,
Perang dan Perampasan. Sebagaimana dimaklumi bahwa selan perang Badr merupakan pengalaman pertama bagi kaum Muslimin dalam hal perang-campuh yang menyita banyak pengorbanan di jalan Allah swt, dalam kondisi mereka yang sangat lemah dan sedikit, ia pun merupakan pengalaman pertama pula bagi kaum Muslimin dalam menangani maslah harta rampasan yang diperoleh menyusul pertempuran yang terjadi dalam kondisi mereka yang miskin dan sangat memerlukan.
Perang dan Perampasan. Sebagaimana dimaklumi bahwa selan perang Badr merupakan pengalaman pertama bagi kaum Muslimin dalam hal perang-campuh yang menyita banyak pengorbanan di jalan Allah swt, dalam kondisi mereka yang sangat lemah dan sedikit, ia pun merupakan pengalaman pertama pula bagi kaum Muslimin dalam menangani maslah harta rampasan yang diperoleh menyusul pertempuran yang terjadi dalam kondisi mereka yang miskin dan sangat memerlukan.
Pada kasus pertama (pengalaman perang dalam kondisi
serba lemah) Allah swt mengatasinya dengan meneguhkan hati kaum Muslimin
seperti telah disebutkan melalui hal-hal luar biasa yang menjadi indikasi
kemenangan. Sedangkan pada kasus kedua (pengalaman kekuarangan) Allah swt
mengobatinya melalui berbagai sarana tarbiyah secara cermat dantepat pada
waktunya. Pengaruh pengalaman ini tampak dengan jelas dalam dua peristiwa yang
terjadi sesudah peperangan. Pertama ketika kaum Musyrikin berhasil dikalahkan
sehingga meninggalkan harta benda mereka yang beraneka ragam. Harta kekayaan
ini menjadi ajang rebutan di kalangan kaum Muslimin sehingga nyaris terjadi
persengketaan.
Karena hukum tentang pembagian harta rampasan belum
diturunkan maka mereka pergi menemui Rasulullah saw menanyakan dan meminta
keputusan terhadap perselisihan yang terjadi. Pada saat itu turunlah firman
Allah swt : “Mereka menanyakan kepadamu
tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah.“ Harta rampasan perang
itu kepunyaan Allah, Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah
perhubungan di antara sesamamu serta taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika
kamu adalah orang-orang yang beriman.“ Sesungguhnya orang-orang yang beriman
itu adalah mereka yang apabila disebut asma Allah gemetarlah hati mereka, dan
apabia dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka
(karenanya) dan kepada Rabb-lah mereka bertawakal”. QS Al-Anfal : 1-2.
Di dalam kedua ayat ini tida terdapat jawaban bagi
pertanyaan mereka, tetapi justru memalingkan mereka dari masalah yang mereka
tanyakan karena harta rampasan perang itu bukan milik salah seorang pun di
antara mereka, melainkan semata-mata milik Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya,
mereka harus memperbaiki dan menyelesaikan pertentangan yang terjadi diantara
mereka, mentaati perintah-perintah Allah swt, dan menjauhi laranganlarangan-
Nya. Itulah tugas mereka. Adapun soal harta dan dunia maka harus diserahkan
kepada Allah swt sepenuhnya. Setelah kaum Muslimin mengikuti dan melaksanakan
kandungan kedua ayat tersebut serta mengakhiri pertentangan dan perselisihan
yang menetapkan cara pembagian harta rampasan perang kepada para Mujahidin. Ini
merupakan sarana tarbiyah yang sangat tepat dan baik.
Kasus kedua yaitu ketika Rasulullah saw meminta
pendapat dari pada sahabatnya mengenai tawanan perang. Hampir semua sahabat
menyetujui pembebasan para tawanan dengan penebusan. Pertimbangan mereka ialah,
pertama menunjukkan rasa belas kasih kepada para tawanan dengan harapan mereka
akan tergugah untuk beriman kepada Allah.
Kedua sebagai ganti dari harta kaum Muhajirin yang
tertinggal di Mekkah dengan harapan akan dapat membantu memperbaiki kondisi
ekonomi mereka. Kecenderungan Rasulullah saw kepada pendapat ini menunjukkan
rasa belas kasih Rasulullah saw kepada para sahabatnya. Perasaan belas kasih
inilah yang mendorong Nabi saw untuk mengangkat kedua tangannya memanjatkan
do’a buat kaum Muhajirin ketika beliau melihat mereka berangkat menuju Badr
dalam kondisi yang serba kekurangan : “Ya, Allah mereka berjalan tanpa alas
kaki, maka ringankanlah langkah mereka. Ya Allah mereka kekurangan pakaian,
anugerahkanlah mereka pakaian. Ya Allah mereka itu lapar, maka kenyangkanlah
mereka”.
Tetapi hikmah ilahiyah tidak menyetujui kaum Muslimin
menjadikan harta benda sebagai ukuran atau bagian dari ukuran dalam memutuskan
perkara-perkara mereka yang terbesar yang harus semata-mata didasarkan kepada
pandangan agama betapapun kondisi yang dihadapi. Sebab, jika pandangan
materialistik itu dibiarkan pada saat mereka menghadapi pengalaman pertama
dalam masalah seperti itu, dikhhawatirkan dal tersebut akan menjadi kaidah yang
baku. Sehingga pertimbangan materialistik tersebut akan menghancurkan
hukum-hukum yang harus tetap bersih tidak tercampuri oleh tujuan-tujuan
duniawi. Adalah susah bagi orang yang telah jauh tenggelam ke dalam lumpur dunia
untuk kembali membebaskan diri dari liputannya.
Imam Muslim meriwayatkan dari Umar bin Khathab ra, ia berkata : “Aku
masuk menemui Rasulullah saw setelah beliau memutuskan penebusan tawanan.
Tiba-tiba aku dapati Rasulullah saw bersama Abu Bakar ra sedang menangis. Aku
bertanya, Wahai Rasulullah saw ceritakanlah kepadaku kenapakah anda dan sahabat
anda menagis? Jika aku dapati alasan untuk menangis maka aku akan menangis.
Jika tidak ada alanan untuk menangis maka aku akan memaksakan diir untuk
menangis karena tangis anda berdua. Jawab Rasulullah saw : “Aku menangis karena
usulan pengambilan tebusan yang diajukan oleh pada sahabatmu kepadaku, padahal
siksa mereka telah diajukan kepadaku lebih dekat dari pohon ini (pohon di dekat
Nabi saw). Kemudian Allah menurunkan firman-Nya : “Tidak patut bagi seorang
Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi..”,
sampai firman Allah : “Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah
kamu ambil itu ….”. [2]
Banu
Qainuqa‘ (Pengkhianatan Pertama Kaum Yahudi terhadap Kaum Muslimin).
Ibnu Ishaq berkata : Pada suatu kesempatan Rasulullah saw mengumpulkan Banu
Qunaiqa‘ di pasar Qunaiqa‘ kemudian bersabda : “Wahai kaum Yahudi, takutlah
kalian kepada murka Allah yang pernah ditimpahkan-Nya kepada kaum Quraisy.
Masuklah kalian ke dalam Islam karena sesungguhnya kalian telah mengetahui
bahwa aku adalah Nabi yang diutus (Allah), sebagaimana kalian dapati di dalam
Kitab kalian dan Janji Allah kepada kalian!” Jawab mereka : “Wahai Muhammad,
apakah kamu mengira kami ini seperti kaummu? Janganlah kamu membanggakan
kemenangan terhadap suatu kaum yang tidak mengerti ilmu peperangan. Demi Allah,
seandainya kami yang kamu dapati dalam peperangan, niscaya kamu akan mengetahui
siapa sebenarnya kami ini!”.
Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Abdullah bin Ja‘far
bin al-Musawwir bin Makhramah dari Abu Uwaha bahwa, seorang wanita Arab datang
membawa perhiasannya ke tempat perdagangan Yahudi Bani Qainuqa‘. Ia mendatangi
seorang tukang sepuh untuk menyepuhkan perhiasannya. Ia kemudian duduk menunggu
sampai tukang sepuh Yahudi itu menyelesaikan pekerjaannya. Tiba-tiba datanglah
beberapa orang Yahudi berkerumun mengelilinginya dan minta kepada wanita Arab
itu, secara diam-diam si tukang sepuh itu menyangkutkan ujung pakaiannya yang
menutup seluruh tubuhnya pada bagian punggungnya.
Ketika wanita itu berdiri terbukalah aurat bagian
belakangnya. Orang-orang Yahudi yang melihatnya tertawa gelak-bahak. Wanita itu
menjerit minta pertolongan. Mendengar teriakan itu, salah seorang dari kaum
Muslimin yang berada di perniagaan itu secara kilat menyerang tukang sepuh
Yahudi dan membunuhnya. Orang-orang Yahudi yang berada di tempat itu kemudian
mengeroyoknya hingga orang Muslim itu pun mati terbunuh. Tindakan orang-orang
Yahudi yang membunuh orang Muslim itu menyebabkan kemarahan kaum Muslimin, sehingga
terjadilah peperangan antara kaum Muslimin dengan orang-orang Yahudi Banu
Qunaiqa‘.
Dengan demikian, mereka adalah kaum Yahudi pertama
kali melanggar perjanjian yang diadakan di antara mereka dengan Nabi saw. Insiden
ini menurut riwayat ath-Thabary dan al-Waqidy, terjadi pada pertengahan bulan
Syawawal tahun kedua Hijrah. Kemudian Rasulullah saw mengepung mereka selama
beberapa hari hingga mereka menyerah dan menerima hukuman yang akan diputuskan
oleh Rasulullah saw. Setelah mereka berada di bawah kekuasaan beliau, datanglah
Abdullah bin Ubay lalu berkata : “Hai Muhammad, perlakukanlah para sahabatku
itu dengan baik.“
Permintaan Abdullah bin Ubay itu tidak diindahkan
oleh Rasulullah saw. Abdullah bin Ubay mengulangi lagi permintaannya, tetapi
beliau saw berpaling muka sambil memasukkan tangannya ke dalam baju besinya.
Wajah beliau tampak marah, hingga raut wajahnya tampak merah padam. Beliau
mengulangi kembali ucapannya sambil memperlihatkan kemarahannya : “Celaka
engkau, tinggalkan aku!“. Abdullah bin Ubay menyahut : “Tidak, demi Allah, aku
tidak akan melepaskan anda sebelum anda mau memperlakukan para sahabatku itu
dengan baik. Empat ratus orang tnapa perisai dan tiga ratus orang bersenjata
lengkap telah membelaku terhadap semua musuhku itu, apakah hendak anda habisi
nyawanya dalam waktu sehari? Demi Allah, aku betul-betul mengkhawatirkan
terjadinya bencana itu!“. Rasulullah saw akhirnya berkata : “Mereka itu
kuserahkan padamu dengan syarat mereka harus keluar meninggalkan Madinah dan
tidak boleh hidup berdekatan dengan kota ini.“
Orang-orang Yahudi Banu Qainuqa‘ itu kemudian pergi
meninggalkan Madinah menuju sebuah pedusunan bernama Adzara‘at di daerah Syam.
Belum berapa lama tinggla disana, sebagian besar dari mereka mati ditimpa
bencana. Sebagai seorang Muslim yang memiliki hubungna “persekutuan“ dengan
orang-orang Yahudi Banu Qainuqa‘, sebagaimana Abdullah bin Ubay, maka ‘Ubadah
bin Shamit pun datang menemui Rasulullah saw lalu berkata : “Sesungguhnya aku
memberikan loyalitas kepada Allah swt, Rasul-Nya dan kaum Mukminin, dan aku
melepaskan diriku dari ikatan persekutuan dengan orang-orang kafir tersebut.“
Sehubungan dengan kedua orang (Abdullah bin Ubay dan ‘Ubadah bin
Shamit) inilah Allah menurunkan firman-Nya : “Hai orang-ornag yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu),
sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Siapa saja diantara
kamu mengambil mereka menjadi pimpinan, sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang dzalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya
(orang-orang munafiq) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani) seraya
berkata : “Kami takut akan mendapat bencana“.
Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau
sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Oleh sebab itu, mereka menjadi menyesal
terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.“ QS Al-Maidah (5) :
51-52
Beberapa
Ibrah :
Peristiwa ini secara keseluruhan menunjukkan watak
pengkhianatan orang-orang Yahudi. Mereka tidak pernah putus sebelum dapat
mengkhianati orang-orang yang bertetangga atau bergaul dengan mereka. Dengan
menghalalkan segala cara mereka siap melaksanakan pengkhianatan. Dengan
peristiwa ini terdapat beberapa pelajaran dan prinsip di antaranya :
1.
Hijab (Cadar) Wanita Muslimah
Seperti kita ketahui bahwa biang keladi peristiwa
(pengusiran Yahudi Banu Qainuqa‘) ini berawal justru gara-gara ulah mereka
sendiri, yaitu membuat onar dengan cara berusaha memaksa untuk membuka tutup
muka wanita Muslimah ketika wanita tersebut datang ke pasar mereka untuk
menyepuhkan perhiasannya. Sumber terjadinya peristiwa yang diriwayatkan oleh
Ibnu Hisyam ini tidak bertentangan dengan riwayat lain yang menyebutkan bahwa
sebab timbulnya peristiwa ini ialah kedengkian orang-orang Yahudi terhadap
kemenangan kaum Muslimin di perang Badr sehingga mereka berkata kepada
Rasulullah saw : “demi Allah, seandainya kami yang kamu hadapi dalam peperangan,
niscaya kamu akan mengetahui siapa sebenarnya kami ini?“ Kemungkinan dua sebab
tersebut memang terjadi kedua-duanya bahkan yang satu saling menyempurnakan
yang lainnya.
Karena tidak mungkin Rasulullah saw melakukan
pembatalan perjanjian dengan mereka hanya karena munculnya tanda-tanda
pengkhianatan dalam perkataan mereka. Di samping itu, pasti mereka telah
melakukan tindakkan-tindakkan pengkhiantan kepada kaum Muslimin sebagaimana
dinyatakan oleh riwayat Ibnu Hisyam tersebut.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa hijab yang
disyariatkan oleh Islam kepada wanita ialah dengan menutup muka. Seandainya
tidak demikian, niscaya wanita tersebut tidak perlu ke luar rumah dengan
menutup mukanya. Seandainya menutup muka bagi kaum Muslimah bukan menjadi hukum
agama yang diperintahkan Islam, niscaya orang-orang Yahudi itu tidak akan
memaksa wanita Arab tersebut untuk membuka tutup mukanya. Sebab dengan tindakan
ini mereka hanya bermaksud menodai perasaan keagamannya yang secara jelas-jelas
Nampak dalam pakaiannya.
Mungkin ada orang membantah bahwa peristiwa yang hanya
diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam ini terdapat sedikit kelemahan dalam
periwayatannya, sehingga tidak kuat untuk menetapkan hukum seperti ini. Tetapi
riwayat ini ternyata juga dikuatkan oleh sejumlah Hadits Shahih, di antaranya :
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah ra, dalam Bab Pakaian Bagi
Orang Yang Ihram, ia berkata : “Janganlah
ia (wanita yang sedang berikhram) menutup muka dengan cadar dan memakai pakaian
yang dicelup dengan waras (wewangian) atau za‘faran“.
Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Malik di
dalam al-Mawaththa dari Nafi‘ bahwa Abdullah bin Umar pernah berkata : „Tidak
boleh wanita yang sedang ihram memakai cadar muka, begitu pula memakai sarung
tangan.“
Apa arti larangan memakai cadar (tutup muka) bagi
wanita yang sedang melakukan ihram di waktu melaksanakan haji ? Mengapa
larangan ini khusus bagi wanita saja, tidak termasuk lelaki? Tidak diragukan
lagi bahwa larangan atau pengecualian ini menunjukkan bahwa menutup muka (memakai
cadar) merupakan sesuatu yang biasa dilakukan oleh wanita Muslimah di luar
pelaksanaan haji. Juga hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya dari
Fatimah binti Qais bahwa setelah dia diceraikan oleh suaminya, Rasulullah saw
memerintahkannya supaya dia (Fatimah binti Qais) menunggu masa iddah di rumah
Ummu Syarik, kemudian Rasulullah saw memberitahukan kepadanya bahwa rumah Ummu
Syarik banyak dihuni oleh para sahabatnya (sahabat Nabi saw). Akhirnya
Rasulullah saw memerintahkan Fatimah binti Qais agar menunggu masa iddah-nya di
rumah anak paman Fatimah binti Qais yaitu Ibnu Ummi Maktum, karena dia (Ibnu
Ummi Maktum) seorang buta yang tidak akan melihat manakala ia melepas
kerudungnya.
Itulah dalil-dalil yang mewajibkan wanita Muslimah
agar menutup muka dan seluruh anggota tubuhnya dari lelaki asing. Adapun
dalil-dalil yang melarang lelaki melihat wanita termasuk wajahnya , dapat kami
sebutkan di antanya :
Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan
Turmudzi dari Barirah ra, ia berkata : Rasulullah saw bersabda kepada Ali : “Wahai Ali, janganlah kamu melihat (wanita)
pandang demi pandang, karena kamu hanya punya hak pada pandangan yang pertama
tetapi tidak pada pandangan keuda (dan seterusnya).“
Dalam riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas ra. Disebutkan
bahwa Fadlal bin Abbas pernah mengikuti di belakang Rasulullah saw pada hari
penyembelihan qurban. Pada kesempatan ini Nabi saw ditanya oleh seorang wanita
dari suku Khats‘amiah yang terkenal ceriwis. Ketika itu Fadlal memandang agak
lama kepada wanita tersebut, lalu Rasulullah saw memegang dagu Fadlal dan
memutarnya kebelakang.
Di dalam kandungan Hadits-hadits di atas terdapat dua
larangan. Larangan bagi wanita untuk membuka wajahnya atau salah satu bagian
dari anggota tubuhnya di hadapan lelaki asing, dan larangan bagi kaum lelaki
untuk melihatnya. Kiranya Hadits-hadits yang telah kami sebutkan di atas cukup
sebagai dalil bahwa , wajah wanita adalah aurat di hadapan lelaki asing dalam
kondisi-kondisi tertentu seperti, dharurat berobat, belajar , kesaksian dan
lain sejenisnya.
Tetapi di antara Imam Madzhab ada yang berpendapat
bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita bukan aurat yang wajib ditutup.
Mereka menafsirkan Hadits-hadits mengenai masalah ini sebagai perintah yang
bernilai anjuran (nadb), bukan wajib. Kendatipun demikian, semua fuqaha telah
menyepakati bahwa seorang lelaki (asing, bukan muhrim) tidak boleh melihat
salah satu anggota tubuh wanita dengan syahwat, dan wajib atas wanita menutup
mukanya manakala kefasikkan telah menyebar luas sedemikian rupa di
tengah-tengah masyarakat, karena semua orang yang memandangnya adalah
orang-orang fasik dan bermata jalang.
Jika anda perhatikan kondisi kaum Muslimin sekarang
dengan segala kefasikkan dan kemungkaran, akibat lemahnya pembinaan dan akhlak,
niscaya anda akan menyadari bahwa tidak ada alasan untuk membolehkan wanita
membuka wajahnya dalam kondisi seperti itu. Sesungguhnya jurang berbahaya yang
sedang dilalui masyarakat Islam dewasa ini menuntut hati-hati dan
pengetatan-pengetatan sampai kaum Muslimin mampu melewati tahapan berbahaya
tersebut dan mampu pula menguasai serta mendendalikan masalah yang dihadapinya.
Atau dengan ungkapan lain, sesungguhnya orang yang
selalu mengambil rukshah (keonggaran) dan kemudahan-kemudahan agama, lambat
laun akan menghanyutkan diri yangbersangkutan kepada tindakkan melepaskan diri
dari kewajiban secara keseluruhan selagi tidak ada arus sosial Islam yang
mengendalikan keringan-keringanan tersebut dalam suatu Manhaj Islami yang
bersifat umum dan memeliharanya dari segala bentuk pelampauan batas yang
disyariatkan.
Tetapi
anehnya ada sebagian orang yang berpegang teguh kepada apa yang mereka namakan
perubahan hukum mengikuti perubahan jaman, dalam masalah keringan, kemudahan
dan usaha-usaha melepaskan diri dari kewajiban saja, namun mereka tidak
menyebutkan kaidah tersebut sama sekali ketika situasi menuntut kebalikan
daripadanya, sampai sekarang saya belum mendapatkan satu contoh yang lebih
tepat untuk menerapkan kaidah perubahan hukum mengikuti perubahan jaman selain
dari keharusan menetapkan kewajiban menutup wajah bagi wanita, mengingat
tuntutan-tuntutan jaman pada masa kita hidup sekararang ini di samping
mengingat banyaknya ranjau-ranjau yang menuntut kita agar lebih banyak
berhati-hati dan berwaspada dalam meniti dan melangkahkan kaki, sambil menunggu
datangnya pertolongan Allah dalam mewujudkan masyarakat Islam yang kita
cita-citakan.
2.
Insiden yang timbul karena Yahudi
banu Qainuqa‘ ini menunjukkan kedengkian yang terpendam selama ini di dalam
hati mereka terhadap kaum Muslimin. Tetapi mengapa bukti-bukti kedengkian itu
baru muncul dan terbongkar setelah sekitar tiga tahun mereka memendam
kedengkian tersebut ? Jawabannya, karena sesuatu yang menyulut kedengkian yang
telah lama membara di dalam dada mereka itu ialah peristiwa kemenangan kaum
Muslimin pada perang Badr. Suatu kemenangan yang tidak pernah mereka bayangkan
sama sekali. Hati mereka terbakar oleh kedengkian dan kebencian.
Sementara itu mereka tidak mendapatkan kesempatan
untuk menumpahkannya, sehingga akhirnya mereka melakukan tindakkan-tindakkan
tersebut. Kedengkian mereka terhadap kaum Muslimin itu tampak jelas dengan
sungutan dan cibiran mereka terhadap kemenangan kaum Muslimun pada perang Badr,
sebagaimana dapat kita bada dalam beberapa riwayat.
Ibnu Jurair meriwayatkan bahwa Malik bin Shaif salah
seorang Yahudi berkata kepada sebagian kaum Muslimin ketika mereka kembali dari
perang Badr : “Janganlah kalian tertipu
oleh kemenangan terhadap kaum Quraisy yang tidak mengerti ilmu peperangan!
Seandainya kalian menghadapi kami, niscaya kalian tidak akan berdaya …:“
Seandainya
orang-orang itu menghormati „perjanjian“ yang telah mereka sepekati dengan kaum
Muslimin dipastikan tidak akan ada seorang pun dari kaum Muslimin yang mengusik
dan menyakiti mereka. Tetapi mereka tidak menghendaki selain kejahatan,
sehingga kejahatan itu sendiri kembali kepada diri mereka.
3.
Perlakuan Islam kepada Orang
Munafik.
Peristiwa ini berikut pembelaan Abdullah bin Ubay
kepada orang-orang Yahudi dalam bentuk yang telah kita ketahui dengan jelas
membeberkan kemunafikan orang tersebut. Dari sikapnya itu jelaslah sudah bahwa
dia adalah seorang munafik yang menyimpan kedengkian dan kebencian kepada Islam
dan kaum Muslimin.
Tetapi kendatipun demikian, Rasulullah saw tetap
memperlakukannya selaku seorang Muslim. Beliau tidak menggugat kemunafikkannya.
Tidak juga memperlakukannya sebagai seorang musyrik atau murtad atau yang
berdusta dalam menganut Islam. Bahkan Rasulullah saw meluluskan permintaan dan
tuntutannya itu.
Ini menunjukkan sebagaimana disepakati para ulama
bahwa orang munafik selama di dunia harus diperlakukan oleh kaum Muslimin
sebagai seorang Muslin. Mereka harus diperlakukan sebagai orang-orang Muslim
sekalipun kemunafikannya telah dapat dipastikan. Ini karena hukum-hukum Islam
secara keseluruhan terdiri dari dua aspek. Aspek yang harus diterapkan di dunia
di mana kaum Muslimin berkewajiban menerapkannya dalam masyarakat mereka,
dengan dipimpin oleh seorang Khalifah atau kepada negara. Dan Aspek lain yang
akan diterapkan kelak di akherat, yang pada saat itu segala urusan dikembalikan
kepada Allah swt semata.
Sejauh menyangkut aspek yang pertama, seluruh
persoalannya harus didasarkan kepada bukti-bukti hukum yang bersifat material
dan empirik, karena setiapkeputusan hukum didasarkan kepadanya. Alasan-alasan
yang didasarkan kepada keyakinan dalam hati dan kesimpulan dari indikasi, tidak
boleh digunakan di sini.
Adapun aspek yang kedua, maka sepenuhnya didasarkan
kepada keyakinan dalam hati dan yang akan bertindak mengadili adalah Allah swt.
Kaidah ini dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhari dari Umar ra : “Kami sekarang ini memutuskan (perkara) hanya
berdasarkan kepada amalan kalian yang bersifat lahiriah.”
Dalam Hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim, Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya
kalian mengadukan perkara kepadaku, yang mungkin saja sebagian orang di
antaranya kalian lebih pandai berhujjah daripada yang lainnya sehingga aku
memutuskan perkaranya berdasarkan apa yang aku dengar. Maka siapa saja yang
mendapatkan keputusan dariku dengan kuberikan sesuatu yang sebenarnya menjadi
hak saudaranya, hendakllah ia tidak mengambilnya karena itu hanyalah segenggam
dari api neraka.“
Hikmah ditetapkan kaidah ini, agar keadilan di antara
manusia tetap terpelihara dan tidak menjadi ajang permainan. Sebab, mungkin
saja ada sebagian penguasa memutuskan suatu perkara semata-mata berdasarkan
kepada hal-hal yang bersifat dorongan perasaan dan keyakinan hari, hanya karena
ingin bertindak dzalim kepada sebagian orang.
Sebagai pelaksanaan terhadap kaidah syariat inilah
maka Rasulullah saw kendatipun banyak mengetahui ikhwal kaum Munafiqin dan apa
yang terpendam di hati mereka melalui wahyu Allah swt, dalam Hukum-hukum
syariat secara umum memperlakukan mereka (Munafiqin) sebagaimana halnya
terhadap kaum Muslimin tanpa membeda-bedakan.
Ini
tidak bertentangan dengan kewajiban kaum Muslimin untuk bersikap hati-hati
terhadap kaum Munafiqin dan bertindak arif dalam menghadapi berbagai tindakkan
mereka. Kerena hal ini merupakan kewajiban kaum Muslimin pada setiap waktu dan
situasi.
4.
Memberikan Wala‘ (Kepemimpinan)
kepada Non-Muslim
Jika kita perhatikan Hukum Syariat yang dikeluarkan
menyusul peristiwa ini, yaitu ayat-ayat al-Quran yang diturunkan sebagai
komentar terhadap kasus tersebut, dapatlah diketahui bahwa seorang Muslim tidak
boleh menjadikan non-Muslim sebagai Wali (pemimpin atau tempat memberikan
loyalitas), atau sebagai teman setia atau sejawat untuk melakukan kerjasama dan
menjalin tanggung jawab kewalian.
Masalah ini termasuk Hukum-hukum Islam yang tidak
pernah diperselisihkan oleh kaum Muslimin sepanjang masa, kerana ayat-ayat
al-Quran menyangkut masalah ini banyak sekali jumlahnya. Bahkan Hadits-hadits
Nabawi pun yang menegaskan masalah ini, mencapai derajat mutawatir ma‘nawi. Di
sini tidak perlu kami sebutkan dalil-dalil tersebut, mengingat sudah banya
diketahui oleh masyarakat luas.
Tidak ada pengecualian dalam hukum wala‘ ini melainkan
tersebab oleh satu kondisi , yaitu apabila kaum Muslimin dalam keadaan terlalu
lemah menghadapi berbagai intimidasi dipaksa sedemikian rupa untuk memberikan
wala‘nya. Allah swt telah memberikan keringanan ini dalam firman Allah swt : “Janganlah orang-orang Mukmin mengambil
orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan menidak-acuhkan atau
meninggalkan orang-orang Mukmin (lainnya). Siapa saja berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah swt . Terkecuali karena (siasat) memelihara
diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Allah memperingatkan kamu terhahap
diri (siksa)-Nya. Hanya kepada Allah swt kembali(mu).“ QS Ali Imran : 28
Hendaknya diketahui bahwa larangan menjadikan
non-Muslim sebagai Wali ini, tidak berarti sebagai perintah untuk dengki
terhadap mereka. Seorang Muslim dilarang berlaku dengki kepada siapapun. Harus
disadari pula bahwa seseorang marah terhadap orang lain karena Allah swt, itu
tidak sama dengan berbuat dengki kepadanya. Sebab tindakkan yang pertama
bersumber dari kemungkaran yang tidak diridhai Allah yang membuat seorang
Muslim marah karenanya, sedangkan tindakkan yang kedua bersumber dari
pribadinya, tanpa memandang tindakkan dan perbuatannya.
Marah karena Allah swt sebenarnya timbul karena rasa
kasihan kepada orang yang berbuat maksiat atau orang kafir yang sepatutnya
mendapatkan murka tersebut. Sebab, orang Mukmin diperintahkan supaya mencintai
semua orang sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Tidak ada sesuatu yang
lebih dicintai oleh seorang Mukmin selain daripada membebaskan dirinya dari
siksa hari Kiamat, dan meraih kebahagiaan abadi. Oleh sebab itu, jika ia marah
kepada orang-orang yang berbuat maksiat atau orang-orang kafir maka itu hanya
karena ghirahnya kepada mereka dan keprihatinannya melihat mereka terancam oleh
kesengsaraan abadi dan siksa dari Allah swt di akherat. Ini tentu bukan
tindakkan dengki yang dilarang. Tindakkan ini tak ubahnya seperti seorang ayah
yang marah kepada anaknya demi kemaslahatan dan kebahagiana sang anak tersebut.
Tindakkan ini juga tidak bertentangan dengan perintah
bertindak „keras“ terhadap kaum kafir. Karena seringkali tindakkan keras itu
merupakan satu-satunya sarana untuk perbaikan. Seorang penyair pernah berkata :
“Bertindaklah keras supaya mereka sadar, Siapa yang mengasihi seseorang,
hendaklah sekali-sekali bertindak keras kepadanya.“
Hendaknya diketahui pula bahwa larangan memberikan
wala‘ kepada kum kafir tidak berarti memberikan peluang untuk bertindak tidak
adil kepada mereka atau tidak menghormati perjanjian-perjanjian yang sedang
berlangsung antara kaum Muslimin dengan kaum kafir. Keadilan harus selalu
ditegakkan. Kebencian dan kemarahan karena Allah sama sekali tidak boleh
menghalangi pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan. Firman Allah : “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berbuat tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.“ (QS Al- Maidah: 8)
Hal
ini bertujuan supaya anda menyadari bahaw kaum Muslimin, tidak seperti ummat
yang lain, adalah satu ummat sebagaimana ditegaskan oleh naskah perjanjian yang
telah kami jelaskan terdahulu. Dengan demikian wala‘ dan persaudaraan mereka
harus dibatasi hanya pada lingungan mereka saja. Adapun pergaulan (mu‘amalah)
mereka kepada semua orang maka harus didasarkan kepada prinsip-prinsip keadilan
dan keinginan akan kebaikan bagi semua orang.[3]
Peperangan ini terjadi karena pada
tokoh Quraisy yang tidak terbunuh pada perang Badar bersepakat untuk
membalaskan dendam orang-orang yang terbunuh di Badar. Mereka ingin membentuk
pasukan besar guna menghadapi Muhammad saw dengan dukungan dana dari seluruh
kekayaan yang dibawa oleh kafilah Abu Sofyan. Keinginan ini akhirnya disetujui
oleh seluruh kaum Quraisy dengan didukung pula oleh unsur-unsur yang dikenal
dengan nama Al-Ahabisy (suku-suku lain di sekitar Mekkah yang terikat perjanjian
dengan suku Quraisy). Bahkan mereka mengerahkan kaum wanita untuk mencegah
larinya para tentara dari medan perang apabila kaum Muslimin melancarkan
serangan kepada mereka. Kaum Quraisy keluar meninggalkan Mekkah dengan tiga
ribu tentara.
Setelah mendengar berita tersebut,
Rasulullah saw lalu mengadakan musyawarah dengan para shabatnya. Dalam
musyawarah ini Rasulullah saw menawarkan kepada mereka antara keluar menjemput
musuh di luar kota Madinah atau bertahan di dalam kota Madinah, jika musuh
datang menyerang kota Madinah barulah kaum Muslimin menghadapi mereka dalam
kota. Dari kalangan orang-orang tua, termasuk Abdullah bin Ubay bin Salul memilih
tawaran (bertahan di dalam kota Madinah) sedangkan sebagian besar dari para
sahabat yang tidak berkesempatan ikut perang Badr berkeinginan menghadapi musuh
di luar kota Madinah, lalu mereka berkata : “Wahai Rasulullah saw bawalah kami
ke luar menghadapi musuh kita agar mereka tidak menganggap kita takut dan tidak
mampu menghadapi mereka”. Golongan ini terus saja mendesak Rasulullah saw agar
mau mengadakan perang di luar Madinah, sampai akhirnya beliau menyetujuinya.
Kemudian Rasulullah saw masuk rumahnya
lalu mengenakan baju perang dan mengambil senjatanya. Melihat ini, lalu
orang-orang yang mendesak Rasulullah saw tersebut menyesali diri karena mereka
telah memaksa Rasulullah saw untuk melakukan sesuatu yang tidak diingininya
sehingga mereka berkata kepada Rasulullah saw : “Ya Rasulullah saw kami tadi telah mendesak anda untuk keluar
padahal tidak selayaknya kami berbuat demikian. Karena itu jika anda suka
duduklah saja”. Tetapi Rasulullah saw
menjawab : “Tidak pantas bagi seorang Nabi apabila telah memakai pakaian
perangnya untuk meletakkannya kembali sebelum berperang”.
Kemudian Nabi saw keluar dari
Madinah bersama seribu orang pasukannya menuju Uhud, pada hari Sabtu tanggal 7
Syawwal, tiga puluh dua bulan setelah Hijrah beliau. Ketika di tengah perjalanan
antara Madinah dan Uhud, Abdullah bin Ubay bersama sepertiga pasukan umumnya
terdiri dari pada pendukungnya melakukan desersi
dan kembali pulang dengan alasan yang dikemukakannya : “Dia (Nabi saw)
tidak menyetujui pendapatku bahkan menyetujui pendapat anak-anak ingusan dan
orang-orang awam. Kami tidak tahu untuk apa kami harus membunuh diri kami
sendiri”.
Abdullah bin Harram berusaha
mencegah mereka dan memperingatkan agar mereka tidka mengkhianati Nabi saw.
Tetapi mereka menolak, bahkan tokoh mereka menjawab : “Seandainya kami tahu
akan terjadi peperangan niscaya kami tidak akan mengikuti kalian”.
Bukhrai meriwayatkan bahwa kaum
Muslimin berselisih pendapat dalam menanggapi tindakkan desersi ini. Sebagian
mengatakan : “Kita perangi mereka“, sedangkan sebagian yang lain mengatakan : “Biarkan mereka“. Lalu turunlah firmam
Allah swt mengenai hal itu : “Maka
mengapa kami menjadi dua golongan dalam menghadapi orang-ornag munafik, padahal
Allah swt telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka
sendiri? Apakah kamu ingin memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah
disesatkan oleh Allah swt? Siapa pun yang disesatkan oleh Allah swt,
sekali-kali kamu tidak mungkin mendapatkan jalan untuk memberi petunjuk
kepadnaya”. (QS An-Nisa : 88)
Menghadapi peperangan ini, sebagian
sahabat mengusulkan supaya meminta bantuan kepada orang-orang Yahudi, mengingat
mereka terikat perjanjian untuk saling tolong-menolong dengan kaum Muslimin. Tetapi
Rasulullah saw menjawab : “Kita tidak akan pernah meminta bantuan kepada
orang-orang Musyrik untuk menghadapi orang-orang musyrik lainnya”.
Kemudian Rasulullah saw bersama para
sahabatnya jumlah mereka tidak lebih dari tujuh ratus tentara mengambil posisi
di sebuah dataran di lereng gunung Uhud dan membentengi diri di balik gunung
itu, menghadap ke arah Madinah. Beliau menempatkan 50 pasukan pemanah diatas
bukit yang terletak di belakang kaum Muslimin itu.
Rasulullah saw menunjuk Abdullah
bin Jubair sebagai pimpinan pasukan pemanah. Kepada pasukan pemanah Rasulullah
saw berpesan : “Berjagalah di tempat kalian ini dan lindungilah pasukan kita
dari belakang. Bila kalian melihat pasukan kita berhasil mendesak dan menjarah
musuh, janganlah sekali-kali kalian turut serta menjarah. Demikian pula andai
kalian melihat pasukan kita banyak yang gugur, janganlah kalian bergerak
membantu”.
Rafi‘ bin Khudaij dan Samurah bin
Jundab keduanya berusia lima belas tahun, meminta kepada Rasulullah saw untuk
ikut serta dalam peperangan ini. Karena terlalu muda, Rasulullah saw menolak
permintaan tersebut. Tetapi setelah dijelaskan kepada beliau bahwa sesungguhnya
Rafi‘ ahli memanah, akhirnya Rasulullah saw membolehkannya. Kemudian Samurah
bin Jundab pun menghadap Rasulullah saw seraya berkata : “Demi Allah swt, aku
bisa membanting Rafi‘. “ Akhirnya Rasulullah saw pun membolehkannya juga.
Pada hari menjelang Uhud,
Rasulullah saw memegang sebilah pedang kemudian bertanya kepada pasukannya :
“Siapakah diantara kalian yang sanggup memenuhi fungsi pedang ini?“ Abu Dujanah
maju seraya menjawab : “Aku sanggup memenuhi fungsinya”. Ia kemudian menerima
pedang tersebut dari tangan Rasulullah saw. Ia mengeluarkan pedang tersebut
dari tangan Rasulullah saw. Ia mengeluarkan selembar kain merah lalu diikatkan
di kepala (kebiasaan Abu Dujanah jika ingin berperang sampai mati) kemudian ia
berjalan mengelilingi barisan dengan membanggakan diri. Melihat ini Rasulullah
saw bersabda : “Sesungguhnya cara berjalan seperti itu dimurkai oleh Allah swt,
kecuali pada tempat (dan peristiwa) seperti ini (perang)”.
Kemudian Rasulullah saw menyerahkan
panji kepada Mush‘ab bin Umair. Sementara itu pasukan sayap kanan kaum
Musyrikin di bawah pimpinan Khalid bin Walid dan sayap kiri di bawah pimpinan
Ikrimah bin Abu Jahal.
Perang campuh pun berlangsung
sangat sengit. Dalam pertempuran ini kaum Muslimin berhasil menyerang kaum
Musyrikin secara mengagumkan, terutama Abu Dujanah, Hamzah bin Abdul Muttalib
dan Mush‘ab bin Umair. Mush‘ab bin Umair gugur di hadapan Rasulullah saw
kemudian panji diambil oleh Ali bin Abi Thalib. Tidak lama kemudian Allah swt
menurunkan pertolongannya kepada kaum Muslimin sehingga kaum Musyrikin lari
mundur terbirit-birit tanpa menghiraukan wanita-wanita mereka yang menyumpah
serapah kepada mereka. Kaum Muslimin terus mengejar mereka seraya mengumpulkan
barang rampasan.
Melihat ini pasukan pemanah yang
bertugas mengawal di atas bukit tertarik untuk turun mengambil barang-barang
rampasan bersama para sahabatnya yang lainnya, kecuali pimpinan mereka,
Abdullah bin Jubair, bersama beberapa orang tetap setia menjaga bukit seraya
berkata : “Aku tidak akan melanggar perintah Rasulullah saw”. Melihat bukit
yang sudah tidak terjaga kecuali orang beberapa orang itu, Khalid bin Walid
bersama pasukannya pun melancarkan serangan balik, dan diikuti oleh Ikrimah.
Sehingga mereka berhasil membunuh pasukan pemanah yang masih setia mengawal
bukti termasuk Abdullah bin Jubair. Dan mulailah mereka melancarkan serangan
balik kepada kaum Muslimin dari arah belakang.
Pada saat itulah kaum Muslimin
terhenyak, mulai terdesak dan diliputi oleh rasa takut, sehingga mereka
berperang dengan tidak teratur lagi. Pasukan Musyrikin semakin gencar
melancarkan serangan sampai mereka berhasil mendekati tempat di mana Rasulullah
saw berada.
Mereka melempari beliau dengan
batu, hingga beliau luka parah pada bagian rahangnya. Sambil mengusap darah
yang mengalir di wajahnya, Rasulullah saw bersabda : “Bagaimana mungkin suatu
kaum mendapat kemenangan, sedangkan mereka mengalirkan darah di wajah Nabinya
yang mengajak mereka kepada jalan Allah swt”.
Kemudian Fatimah datang
membersihkan darah dari wajahnya sementara Ali mencucinya dengan air. Setelah
dilihat darah tetap mengucur akhirnya Fatimah mengambil pelepah kering lalu
dibakarnya sampai menjadi abu kemudian abu itu diucapkan ke tempat luka dan
barulah darah itu berhenti mengalir.
Disaat-saat kritis itu tersiarlah
desas-desus bahwa Rasulullah saw gugur dalam pertempuran, sehingga
mengguncangkan hati sebagian kaum Muslimin dan menyebabkan orang-orang yang
lemah iman diantara mereka berkata : “Apa gunanya kita disini jika Rasulullah
saw telah gugur?“ Kemudian mereka lari meninggalkan medan pertempuran. Tetapi
menanggapi isu ini Anas bin Nadhar berkata : “ Bahkan untuk apa lagi kalian hidup
sesudah Rasulullah saw gugur?“
Kemudian sambil menunjuk kepada
orang-orang munafik dan lemah iman, Anas bin Nadhar berkata : “Ya Allah
sesungguhnya aku berlepas diri kepada- Mu dari apa yang mereka katakan itu, dan
aku memohon ampun kepada-Mu atas apa yang mereka ucapkan itu”. Kemudian Anas
bin Nadhar melesat dengan membawa pedangnya menerjang kaum Musyrikin hingga
gugur sebagai syahid.
Selama peristiwa ini tampaklah
semangat pengorbanan dan pembelaan yang mengagumkan dari para sahabat
Rasulullah saw yang selalu berada di sekitarnya. Mereka rela mengorbankan raga
dan nyawa demi membela dan menyelamatkan Rasulullah saw.
Bukhari meriwayatkan bahwa ketika
orang-orang meninggalkan Nabi saw dengan memerisaikan dirinya dari desakan
panah-panah kaum Musyrikin, Abu Thalhah adalah seorang pemanah ulung dan selalu
tepat mengenai sasarannya. Setiap anak panah yang dilepaskan olehnya ke arah
kaum Musyrikin selalu diamati oleh Rasulullah saw, pada sasaran manakah anak
panah itu menancap. Kemudian Abu Thalhah berkata : “Demi ayah dan ibuku, yang
menjadi tebusanmu, tak usahlah anda mengamatiku nanti terkena panahan musuh.
Biarlah mengenai leherku asalkan lehermu selamat”. Abu Dujanah melindungi Nabi
saw dengan dirinya, sementara panah-panah musuh bertubi-tubi menghujam di
punggungnya. Demikian pula Ziyad bin Sakan. Ia memerangi Rasulullah saw dengan
dirinya sampai gugur bersama lima orang sahabatnya.
Menurut riwayat Ibnu Hisyam orang
yang terakhir gugur melindungi Nabi saw hingga roboh karena luka yang
mengenainya, lalu Rasulullah saw berkata : “Dekatkanlah dia kepadaku”. Kemudian
diletakkan kepalanya di atas kaki beliau dan akhirnyaia menghembuskan nafasnya
yang terakhir berbantalkan kaki Rasulullah saw.
Selang sekian lama pertempuran diantara
kedua belah pihak pun mulai mereda dan berakhir. Kaum Musyrikin mulai
meninggalkan medan pertempuran dengan rasa bangga atas kemenangan yang
diraihnya. Sementara itu kaum Muslimin terkejut melihat para sahabat yang
berguguran di antaranya Hamzah bin Abdul Muttalib, Al-Yaman, Anas bin Nadhar,
Mush‘ab bin Umair dan lainnya.
Rasulullah saw sendiri sangat
berduka cita atas kematian pamannya, Hamzah bin Abdul Muttalib, apalagi setelah
melihat mayatnya yang dibedah perutnya dan diiris hidung serta telinganya oleh
musuh.
Selanjutnya Rasulullah saw
menguburkan mayat-mayat itu dua-dua dalam satu kain lalu bertanya : “Siapakah
yang paling banyak hafal al-Quran?“ Setelah diberitahukan lalu Rasulullah saw
memasukkannya lebih dahulu ke liang lahat. Sesudah itu Rasulullah saw besabda :
“Aku menjadi saksi bagi mereka pada Hari Kiamat”. Rasulullah saw memerintahkan
agar mereka dikuburkan berikut pakaian dan darah mereka apa adanya, dengan tidak
perlu dimandikan dan dishalatkan.
Orang-orang Yahudi dan Munafiq
mulai menunjukkan kebencian mereka kepada kaum Muslimin. Abdullah bin Ubay bin
Salul bersama kawan-kawannya berkata kepada kaum Muslimin : “Seandainya kalian
mengikuti kami, niscaya tidak ada korban yang berjatuhan diantara kalian”.
Kemudian mereka memperolok kaum Muslimin dengan mempertanyakan kemangan yang
pernah mereka impikan bersama Rasulullah saw. Lalu Allah swt menurunkan
sejumlah ayat dari surat Ali-Imran sebagai komentar dan jawaban terhadap
celotehan orang-orang Yahudi dan Munafiqin tersebut, disamping merupakan
penjelasan tentang hikmah dari peristiwa yang terjadi di Uhud. Ayat-ayat itu
ialah :
“Dan
(ingatlah) ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu dalam
rangka menempatkan para Mukmin pada beberapa posisi untuk berperang. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ (QS Ali-Imran : 121)
“Orang-orang
yang tidak turut berperang itu berkata kepada saudara-saudaranya :“Sekiranya
mereka mengikuti kita tentulah mereka tidak terbunuh.“ Katakanlah :“Tolaklah
kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar.“
(QS Ali-Imran : 168)
Pada Sabtu sore Rasulullah saw
meninggalkan Uhud dan pada malam harinya bermalam di Madinah bersama pada
sahabatnya. Pada malam itu kaum Muslimin mengobati luka-luka mereka. Setelah
melaksanakan shalat Shubuh pada hari Ahad, Rasulullah saw memerintahkan Bilal
untuk mengumumkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kepada para sahabatnya
agar keluar mengejar musuh. Perintah ini hanya ditujukan kepada para sahabat
yang ikut dalam peperangan kemarin. Kemudian Rasulullah saw meminta diambilkan
panjinya yang belum dilepas lalu menyerahkan kepada Ali bin Thalib ra.
Dengan kondisi yang masih belum
pulih dan serba lemah, para sahabat itu melesat keluar mengejar musuh sampai ke
Hamra‘uö Asad (sebuah tempat yang terletak sepuluh mil dari Madinah). Disinilah
kaum Muslimin menyalahkan api unggun berukuran besar sehingga dapat dilihat
dari tempat yang jauh di samping mengesankan banyaknya jumlah mereka.
Disaat itulah Ma‘bad bin Ma‘bad
al-khuza‘I (seorang musyrik dari suku Khuza‘ah) lewat dan melihat kaum
Muslimin. Setelah itu ia melanjutkan perjalanannya dan bertemu dengan kaum
Musyrikin yang sedang berpesta pora membanggakan kemenangan mereka di Uhud, dan
merencanakan kembali lagi ke Madinah untuk menumpas kaum Muslimin tetapi
dicegah oleh Shafwan bin Umaiyah. Ketika Abu Sofyan melihat Ma‘bad ia bertanya
:“Wahai Ma‘bad ada gerangan apa di sana? Ma‘bad menjawab: “ Celaka !
Sesungguhnya Muhammad bersama pada sahabatnya dalam jumlah besar yang tidak
pernah aku lihat sebelumnya, telah keluar mengejar kalian. Dengan semangat berkobar-kobar
dan kebencian yang belum pernah aku lihat sebelumnya, mereka ingin berhadapan
dengan kalian”. Dengan itulah Allah swt menimbulkan rasa takut di hati kaum Musyrikin
sehingga mereka segera mengangkat kaki berangkat menuju Mekkah. Rasulullah saw
tinggla di Hamra‘ul Asad pada hari Senin dan Selasa. Rabu kembali ke Madinah.
Beberapa
Ibrah :
Pernag Uhud ini memberi banyak pelajaran penting
kepada kaum Muslimin pada setiap masa. Semua peristiwa yang telah kami jelaskan
terdahulu seolah-olah menjadi pelajaran yang bersifat aplikatif dan
operasional, yang mengajarkan kepada kaum Muslimin cara mencapai kemenangan
dalma pertempuran melawan musuh , dan cara menghindari kegagalan dan kekalahan.
:
1.
Di dalam peperangan ini tampak
pula prinsip yang selalu dipegang teguh oleh Rasulullah saw., yaitu
bermusyawarah besama para sahabatnya dalam setiap urusan yang memerlukan syura
dan pembahasan. Tetapi di sini kita mencatat satu hal yang tidak kida dapati
pada musyawarah menjelang Badr. Yaitu bahwa Nabi saw tidak mau mencabut kembali
persetujuannya atas pengusulan para sahabat yang menghendaki agar peperangan di
tandingkan di luar Madinah, setelah beliau memakai baju perang dan mengambil
persiapan perangnya, sekalipun mereka menyatakan penyesalan mereka dan menarik kembali
usulan mereka itu, serta mengharap Rasulullah saw agar tinggal saja di Madinah
jika beliau berpendapat demikian. Tampaknnya pada waktu musyawarah Nabi saw
cenderung atau menampakkan kecenderungan terhadap usulan yang menginginkan agar
kaum Muslimin menunggu musuh di Madinah.
Barangkali
hikmah yang terkandung dalam maslah ini, antara lain bahwa memperbincangkan
kembali suatu masalah yang sudah diputuskan apalagi setelah Nabi saw muncul di
tengah kaum dan para sahabatnya seraya memakai baju perang dan mengangkat
senjatanya adalah suatu tindakkan di luar prinsip syura khususnya menyangkut
masalah-masalah peperangan yang memerlukan di samping musyawarah ketegasan dan
kepastian sikap. Di samping itu kesan yang akan timbul jika Nabi saw mencabut
persetujuannya setelah semuanya melihat Nabi saw telah bersiap-siap untuk
perang, seakan Nabi saw tidak memiliki kehendak dan tekat yang kuat dan pasti.
Bahkan biasanya sikap ragu seperti itu muncul karena rasa takut dan
kekhawatiran yang tidak berasalan. Oleh sebab itu, Nabi saw menjawab mereka
dengan tegas dan pasti : “Tidak pantas bagi seorang Nabi apabila telah memakai
baju perangnya untuk meletakkannya kembali sebelum berperang.“
2.
Dalam peperangan ini kaum
Munafiqin menunjukkan sikap mereka yang asli. Sikap mereka ini mengandung
banyak hikmah dan tujuan, di antara yang terpenting ialah wujud penyapubersihan
unsur-unsur Munafiqin dari kaum Mukminin. Selain itu, sikap kaum Munafiqin
tersebut memberikan berbagai manfaat bagi kaum Muslimin untuk menghadapi
masa-masa mendatang.
Telah kita ketahui bagaimana Abdullah bin Ubay bersama
tiga ratus pengikutnya berkhianat kepada Rasulullah saw, dan para sahabatnya
setelah keluar dari kota Madinah. Konon pengkhianatan ini disebabkan karena
Nabi saw, mengikuti pendapat anak-anak muda dan tidak mengambil pendapat
orang-orang tua dan para intelektual seperti dirinya (Abdullah bin Ubay).
Tetapi sesungguhnya tidaklah demikian halnya. Ia
(Abdullah bin Ubay) melakukan tindakkan pengkhianatan itu hanya karena tidak
mau berperang. Sebab ia tidak siap menghadapi segala resikonya. Itulah ciri
khas utama kaum Munafiqin : ingin mengambil keuntungan-keuntungan yang terdapat
dalam Islam dan menjauhi segala tanggung jawab dan resikonya. Sesuatu yang
mengikat mereka dengan Islam ialah salah satu di antara dua hal : Harta
rampasan yang mereka idamkan atau bencana yang dapat mereka elakkan.
3.
Dalam peperangan ini Rasulullah
saw tidak mau meminta bantuan kepada orang-orang non-Muslim kendatipun jumlah
kaum Muslimin masih sangat sedikit. Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Sa‘d di dalam Thabaqat-nya, Rasulullah saw bersabda : „Kami tidak akan pernah
meminta bantuan kepada orang-orang Musyrik untuk menghadapi orang-orang Musyrik
lainnya.“ Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw pernah berkata kepada seorang laki-laki
yang ingin berperang bersamanya di peperangan Badr : „Apakah kamu beriman
kepada Allah swt ?“ Orang itu menjawab :“Tidak“, Nabi saw bersabda
:“Kembalilah, karena aku tidak akan meminta bantuan kepada seorang Musyrik.“
Berdasarkan kepada hal di atas jumhur ulama‘
berpendapat, tidak boleh meminta bantuan orang-orang kafir dalam berperang.
Imam Syafi‘I menjelaskan hal ini dengan mengatakan :“Jika Imam melihat orang
kafir tersebut memiliki pandangan yang baik dan jujur kepada kaum Muslimin
serta sangat diperlukan bantuannya, (maka boleh meminta bantuannya), tetapi
jika tidak demikian maka tidak boleh.“ Barangkali pendapat Imam Syafi‘I yang
sesuai dengan beberapa kaidah dan dalil. Diriwayatkan bahwa Nabi saw menerima
bantuan Shfwan bin Umaiyah pada perang Hunain.
Dan masalah ini termasuk ke dalam kerangka apa yang
disebut syari’ah (kebijaksanaan Imam). Kami akan menyebutkan perbedaan antara
apa yang dilakukan Rasulullah saw di Hunain serta apa yang dilakukan Rasulullah
saw di Badr dan Uhud pada pembahasan mendatang insya Allah.
4.
Hal yang perlu direnungkan ialah
fenomena Samurah bin Jundab dan Rafi‘ bin Khudaij
Keduanya baru berusia lima belas tahun. Bagaimana
kedua anak ini datang kepada Rasulullah saw meminta ijin agar diperkenankan
ikut serta dalam peperangan. Suatu peperangan yang didasarkan pada kesiapan
mati dan sangat tidak seimbang. Kaum Muslimin yang jumlahnya tidak lebih dari
tujuh ratus orang dengan kaum Musyrikin yang jumlahnya lebih dari tiga ribu
tentara. Anehnya fenomena ini oleh para musuh Islam dianalisis dengan bukti
bahwa bangsa Arab sejak dahulu selalu hidup dalam situasi peperangan dan
pertempuran. Sehingga mereka (orang-orang Arab) tumbuh dalam nuansa dan suasana
itu. Oleh sebab itu, mereka (tua ataupun muda) memandang peperangan sebagai sesuatu
yang tidak perlu ditakutkan. Tidak diragukan lagi bahwa analisis ini dengan
sengaja tidak mau melihat dan mencatat realitas desersi yang dilakukan oleh
Abdullah bin Ubay bin Salul bersama tiga ratus pengikutnya karena takut
terhadap resiko peperangan dan menginginkan keselematan jiwanya. Juga tidak mau
melihat kepada orang-orang yang ingin menikmati hasil panen kota Madinah pada
musim panas dan menolak seruan Rasulullah saw untuk berperang dengan mengatakan
:“Janganlah kalian berperang pada musim panas.“
Bahkan analisis tersebut sama sekali tidak mau melihat
jumlah mereka lebih banyak ketimbang kaum Muslimin, dan rasa takut yang
menghantui mereka padahal mereka adalah orang-orang Arab yang tumbuh,
sebagaimana istilah mereka, dibawah naungan peperangan. Sulit sekali bagi orang yang bersikap objektif
untuk menghindari satu aksioma yang menegaskan bahwa munculnya kesiapan untuk
menghadapi kematian seperti yang terlihat pada fenomena anak-anak tersebut
(Samurah bin Jundab dan Rafi‘ bin Khudaij) adalah karena dorongan keimanan yang
telah menguasai hatinya dan hasil mahabbah terhadap Rasulullah saw. Bila iman
dan mahabbah ini telah terbentuk maka kesiapan itu pasti akan muncul.
Sebaliknya , bila iman dan mahabbah itu tidak ada atau lemah maka jangan diharap
kesiapan tersebut akan muncul.
5.
Memperhatikan siasat peperangan
yang diterapkan Rasulullah saw dalam peperangan ini (terutama dalam menempatkan
posisi pasukan pemanah yang bertugas mengawasi di atas bukit, betapapun situasi
yang terjadi) tampaklah :
a.
Pertama,
Keahlian Rasulullah saw di bidang taktik dan strategi kemiliteran. Beliau adalah guru besar di bidang strategi dan seni peperangan. Tidak diragukan lagi bahwa Allah swt telah membekali keahlian yang langka ini kepada beliau. Tetapi perlu diingatkan bahwa kejeniusan dan keahlian ini hanya berfungsi sebagai faktor pendukung Kenabidan dan Kerasulan yang dibawanya. Kedudukan beliau sebagai seorang Nabi dan pembawa Risalah-lah yang menuntut agar beliau menjadi seorang yang jenius dan ahli di bidang kemiliteran, sebagaimana beliau dituntut untuk menjadi seorang yang ma‘shum dari segala bentuk penyimpangan. Hal ini telah dijelaskan pada bagian pertama dari buku ini, sehingga tidak perlu diulas kembali.
Keahlian Rasulullah saw di bidang taktik dan strategi kemiliteran. Beliau adalah guru besar di bidang strategi dan seni peperangan. Tidak diragukan lagi bahwa Allah swt telah membekali keahlian yang langka ini kepada beliau. Tetapi perlu diingatkan bahwa kejeniusan dan keahlian ini hanya berfungsi sebagai faktor pendukung Kenabidan dan Kerasulan yang dibawanya. Kedudukan beliau sebagai seorang Nabi dan pembawa Risalah-lah yang menuntut agar beliau menjadi seorang yang jenius dan ahli di bidang kemiliteran, sebagaimana beliau dituntut untuk menjadi seorang yang ma‘shum dari segala bentuk penyimpangan. Hal ini telah dijelaskan pada bagian pertama dari buku ini, sehingga tidak perlu diulas kembali.
b. Kedua,
Bahwa pesan-pesan yang disampaikan Rasulullah saw kepada para sahabatnya yang sangat erat dengan apa yang akan terjadi setelah itu, yaitu pelanggaran sebagian pasukan pemanah terhadap perintah-perintah Nabi saw. Seolah-olah Nabi saw telah mengetahui apa yang akan terjadi melalui firasat Kenabian atau Wahyu dari Allah swt, sehingga beliau perlu mewantiwanti mereka dengan wasiat-wasiat dan berbagai perintah. Dengan demikian seolah-olah beliau sedang melakukan suatu manuver yang hidup bersama para sahabatnya untuk melawan musuh mereka yaitu hawa nafsu dengan segala ketamakannya kepad harta dan rampasan. Suatu manuver betapapun , sangat bermanfaat. Hasil negatif dari suatu manuver mungkin saja faedahnya lebih besar daripada hasil yang positif.
Bahwa pesan-pesan yang disampaikan Rasulullah saw kepada para sahabatnya yang sangat erat dengan apa yang akan terjadi setelah itu, yaitu pelanggaran sebagian pasukan pemanah terhadap perintah-perintah Nabi saw. Seolah-olah Nabi saw telah mengetahui apa yang akan terjadi melalui firasat Kenabian atau Wahyu dari Allah swt, sehingga beliau perlu mewantiwanti mereka dengan wasiat-wasiat dan berbagai perintah. Dengan demikian seolah-olah beliau sedang melakukan suatu manuver yang hidup bersama para sahabatnya untuk melawan musuh mereka yaitu hawa nafsu dengan segala ketamakannya kepad harta dan rampasan. Suatu manuver betapapun , sangat bermanfaat. Hasil negatif dari suatu manuver mungkin saja faedahnya lebih besar daripada hasil yang positif.
6.
Abu Dujanah setelah mengambil
pedang dari tangan Rasulullah saw langsung berjalan mengelilingi barisan kaum
Muslimin dengan cara yang amat pongah, tetapi tindakan ini tidak diingkari oleh
Rasulullah saw. Beliau hanya berkomentar : „Ini adalah gaya berjalan yang
dimurkai Allah swt, kecuali di tempat seperti ini (peperangan):“ Hal ini
menunjukkan bahwa setiap bentuk kesombongan yang diharamkan dalam situasi
biasa, terhapus keharamannya dalam situasi perang.
Diantara bentuk kesombongan yang diharamkan kepada
setiap Muslim ialah berjalan dengan cara sombong, tetapi hal tersebut menjadi
kebaikan di medan peperangan. Di antara bentuk kesombongan yang diharamkan
ialah menghias rumah atau bejana dengan emas dan perak. Tetapi menghiasi
alat-alat perang dan senjatanya dengan emas dan perak tidak dilarang.
Kesombongan yang ditampakkan di sini (dalam situasi perang) pada hakekatnya
hanyalah merupakan ungkapan kewibawaan Islam di hadapan musuh-musuhnya , di
samping merupakan perang urat saraf yang tidak boleh dilupakan fungsinya oleh
kaum Muslimin.
7.
Jika kita perhatikan masa
berlangsungnya peperangan antara kaum Muslimin dengan musuh mereka di Uhud ini
maka kita mendapat dua titik perhatian :
a.
Pertama,
Di saat kaum Muslimin menjaga tempat-tempat mereka dan memelihara perintah-perintah yang mereka terima dari penglima mereka (Nabi saw). Apa hasil dari komitmen ini ? Kemenangan begitu cepat diraih kaum Muslimin sehingga tidak lama berhasil mengbra-kabrik barisan lawan. Rasa takut begitu cepat merayap ke dalam hati kaum Kafir yang berjumlah tiga ribu itu sehingga mereka meninggalkan medan perang. Bagian inilah yang dikomentari oleh ayat al-Quran : “Dan sesungguhnya Allah swt, telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan ijin-Nya.“ (QS Ali-Imran : 152)
Di saat kaum Muslimin menjaga tempat-tempat mereka dan memelihara perintah-perintah yang mereka terima dari penglima mereka (Nabi saw). Apa hasil dari komitmen ini ? Kemenangan begitu cepat diraih kaum Muslimin sehingga tidak lama berhasil mengbra-kabrik barisan lawan. Rasa takut begitu cepat merayap ke dalam hati kaum Kafir yang berjumlah tiga ribu itu sehingga mereka meninggalkan medan perang. Bagian inilah yang dikomentari oleh ayat al-Quran : “Dan sesungguhnya Allah swt, telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan ijin-Nya.“ (QS Ali-Imran : 152)
b.
Kedua,
Di saat kaum Muslimin mengejar kaum Musyrikin untuk menumpas setiap orang yang berhasil ditangkap dan mengambil barang-barang rampasan. Pada saat itulah para pasukan pemanah melihat dari atas gunung saudara-saudara mereka menebaskan pedang kepada musuh-musuh mereka yang lari meninggalkan medna pertempuran, dan kembali dengan membawa harta dan barang rampasan. Lalu timbullah keinginan mereka untuk ikut mengumpulkan barang rampasan. Keingina inilah yang mengusik pikiran mereka sehingga timbullah anggapan bahwa masa berlakunya perintah-perintah yang diterima dari Rasulullah saw itu telah berakhir, dan mereka merasa sudah tidak terikat lagi dengan pesan-pesan itu serta tidak perlu lagi menunggu ijin dari Rasulullah saw untuk meninggalkan tempat mereka. Kendatipun ijtihad mereka ini ditentang oleh sebagian temannya terutama Amir (komandan regu) mereka, Abdullah bin Jubair, tetapi mereka tetap turun dan ikut mengambil barang rampasan. Apakah akibat dari tindakkan ini? Rasa takut sebelumnya menyelimuti hati kaum Musyrikin kini berubah menjadi suatu keberanian baru! Khalid bin Walid yang tadinya lari menyurut pun kini mulai melihat peluang dan pintu untuk melancarkan serangan. Ia mengamati tempat-tempat di sekitarnya. Akhirnya ia mengetahui bahwa gunung yang semula dijaga dengan ketat kini telah ditinggalkan oleh pasukan pemanah. Lalu muncullah ide-ide kemiliteran di dalam benaknya. Dan bersama dengan pasukan Musyrikin Khalid bin Walid pun dengan cepat menyerbu ke atas gunung dan berhasil membunuh beberapa orang pasukan pemanah yang tidak ikut turun, lalu mereka dengan mudah menguasai medan dan melancarkan serangan balik menghujani panah kaum Muslimin dari belakang. Kali ini giliran kaum Muslimin yang dicekam rasa takut seperti yang telah kita ketahui.
Di saat kaum Muslimin mengejar kaum Musyrikin untuk menumpas setiap orang yang berhasil ditangkap dan mengambil barang-barang rampasan. Pada saat itulah para pasukan pemanah melihat dari atas gunung saudara-saudara mereka menebaskan pedang kepada musuh-musuh mereka yang lari meninggalkan medna pertempuran, dan kembali dengan membawa harta dan barang rampasan. Lalu timbullah keinginan mereka untuk ikut mengumpulkan barang rampasan. Keingina inilah yang mengusik pikiran mereka sehingga timbullah anggapan bahwa masa berlakunya perintah-perintah yang diterima dari Rasulullah saw itu telah berakhir, dan mereka merasa sudah tidak terikat lagi dengan pesan-pesan itu serta tidak perlu lagi menunggu ijin dari Rasulullah saw untuk meninggalkan tempat mereka. Kendatipun ijtihad mereka ini ditentang oleh sebagian temannya terutama Amir (komandan regu) mereka, Abdullah bin Jubair, tetapi mereka tetap turun dan ikut mengambil barang rampasan. Apakah akibat dari tindakkan ini? Rasa takut sebelumnya menyelimuti hati kaum Musyrikin kini berubah menjadi suatu keberanian baru! Khalid bin Walid yang tadinya lari menyurut pun kini mulai melihat peluang dan pintu untuk melancarkan serangan. Ia mengamati tempat-tempat di sekitarnya. Akhirnya ia mengetahui bahwa gunung yang semula dijaga dengan ketat kini telah ditinggalkan oleh pasukan pemanah. Lalu muncullah ide-ide kemiliteran di dalam benaknya. Dan bersama dengan pasukan Musyrikin Khalid bin Walid pun dengan cepat menyerbu ke atas gunung dan berhasil membunuh beberapa orang pasukan pemanah yang tidak ikut turun, lalu mereka dengan mudah menguasai medan dan melancarkan serangan balik menghujani panah kaum Muslimin dari belakang. Kali ini giliran kaum Muslimin yang dicekam rasa takut seperti yang telah kita ketahui.
Bagian
inilah yang dikomentari oleh Allah swt melalui firman-Nya : „…sampai pada saat
kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu serta mendurhakai perintah
(Rasulullah saw) sesudah Allah swt memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai.
Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan apa pula yang menghendaki
akherat. Kemudian Allah swt memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu ….“
(QS Ali-Imran: 152)
Perhatikanlah
! Betapa berat resiko yang harus dihadapi akibat kesalahan besar tersebut ?
Betapa resikoitu menimpa semua personel kaum Muslimin ! Kesalahan yang
dilakukan oleh beberapa orang di dalam pasukan kaum Muslimin telah menimbulkan
bencana tragis yang menimpa semua orang. Bahkan Rasulullah saw pun tidak luput
dari akibatnya. Itulah Sunnatullah yang berlaku di alam semesta ini. Keberadaan
Rasulullah saw di tengah-tengah pasukan itu pun tidak dapat menangkal
keberlangsungan Sunnatullah itu. Sekarang bandingkanlah. Lebih besar mana
antara kesalahan yang dilakukan oleh beberapa orang (pasukan pemanah) tersebut
dengan sekian kesalahan yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada hari ini, dalam
berbagai aspek kehidupan kita, baik yang umum ataupun yang khusus ?
Renungkanlah semua ini, agar anda dapat menggambarkan betapa kasih sayang Allah
kepada kaum Muslimin , karena tidak menghancurkan mereka sekalipun mereka
melakukan berbagai kesalahan dan mengabaikan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar
dan bersatu dalam satu Kalimat. Dengan demikian, jelaslah bagi anda mengapa
bangsa-bangsa Islam tidak berdaya menghadapi negara-negara tiran yang tidak
percaya kepada Allah swt.
8.
Dalam peperangan ini Nabi saw
mengalami cedera dan luka parah.
Terperosok ke dalam lubang , bocor kepalanya, patah
gigi, dan darahnya mengalir deras di wajahnya. Semua ini merupakan salah satu
akibat dari kesalahan tersebut. Kesalahan beberapa orang prajurit karena
melanggar perintah pimpinan. Tetapi apakah hikmah disebarluaskannya desas-desus
tentang kematina Rasulullah saw, di barisan kaum Muslimin ? Jawabannya,
Sesungguhnya keterikatan kaum Muslimin dengan Rasulullah saw dan keberadaannya
di antara mereka sedemikain kuat, sehingga mereka tidak dapat membayangkan
perpisahan dengan Rasulullah saw.
Kematian Rasulullah saw adalah sesuatu yang tidak
pernah terlintas dalam benak mereka. Seolah-olah mereka membuang jauh-jauh
kenyataan ini dari pikiran mereka. Tidak diragukan lagi seandainya berita
kematian Rasulullah saw itu benar, niscaya berita itu akan meremuk-redamkan
hati mereka dan mengguncangkan keimanan mereka, bahkan akan menimbulkan
keguncangan jiwa yang demikian dasyat pada sebagian besar di antara mereka.
Hikmah dari isu kematian Rasulullah saw, bahwa ia menjadi salah satu pengalaman
dan pelajaran kemiliteran yang sangat penting agar kaum Muslimin menyadari akan
suatu hakekat yang harus dihadapinya, sehingga mereka tidak kembali murtad
apabila Rasulullah saw harus meninggalkan mereka. Demi untuk menjelaskan
pelajaran penting ini maka diturunkanlah ayat al-Quran sebagai komentar
terhadap kelemahan dann keterkejutan yang menimpa kaum Musyrikin ketika
mendengar berita kematian Rasulullah saw. Firman Allah : “Muhammad ini tidak lain hanyalah seorang Rasul. Sungguh sebelumnya
telah berlalu beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau gugur dibunuh
kamu berbalik kembali (murtad) ? Siapa saja yang murtad maka dia sama sekali
tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah kelak
memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (QS Ali-Imran : 144)
Hasil
positif dari pelajaran ini tampak dengan jelas ketika Rasulullah saw
benar-benar meninggalkan mereka (wafat). Peristiwa (issu) Uhud inilah, dengan
segenap ayat al-Quran yang diturunkan menyusul issu tersebut, yang
memperingatkan dan menyadarkan kaum Muslimin kepada kenyataan ini, Sehingga
mereka dengan berat hati dan rasa sedih telah siap menerima kematian Rasulullah
saw , dan memikul beban amanah yang ditinggalkannya : Dakwah dann Jihad di
jalan Allah swt. Mereka bangkit memikul amanah dengan keimanan yang kokoh dann
ketakwaan yang mantap kepada Allah swt.
9.
Mari kita renungkan kematian yang
telah merengut nyawa para sahabat Rasulullah saw demi membela dan menyelamatkan
Rasulullah saw dari berondongan anak panah dan lemparan batu. Satu demi satu,
mereka berguguran di bawah hujan panah. Mereka berjuang dengan semangat tinggi
demi menjaga nyawa Rasulullah saw , tanpa menghiraukan resiko yang ada … Dari
manakah sumber pengorbanan yang menakjubkan ini? Kesemuanya ini tidak lain
hanyalah bersumber dari :
a.
Pertama,
Keimanan
kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
b.
Kedua,
Kecintaan
kepada Rasulullah saw keduanya itu merupakan sumber dan sebab munculnya
perngorbanan yang menakjubkan tersebut. Setiap Muslim sangat memerlukan kedua
hal ini. Tidaklah cukup seseorang mendakwakan diri beriman kepada
masalah-masalah aqidah yang harus diimani, sebelum hatinya jaga dipenuhi oleh
cinta kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu Rasulullah saw bersabda : “Tidaklah beriman seseorang di antara kamu,
sehingga aku lebih dicintainya dari pada hartanya, anaknya, dan semua manusia.“
(HR Muttafa‘alaihi)
Ini
karena Allah swt telah memberikan perangkat akal dan hati pada diri manusia.
Dengan akal , manusia dapat berpikir kemudian mengimani hal-hal yang wajib
diimani. Sedangkan dengan hati, manusia dapat mempergunakannya untuk mencintai
hal-hal yang dicintai Allah swt dan dan memenci hal-hal yang dibenci Allah swt,
Rasul-Nya dan hambahamba-Nya yang shalih, niscaya akan dipenuhi oleh cinta hawa
nafsu dan hal-hal yang diharamkan. Jika hati telah dipenuhi oleh cinta hawa
nafsu dan kemungkaran maka janganlah diharap bahwa keyakinan seseorang (yang
tidak disertai oleh rasa cinta itu) akan dapat menumbuhkan pengorbanan.
Seringkali dibicarakan tentang keinginan untuk menegakkan keutamaan
(kebahagiaan) berdasarkan akal semata-mata. Tetapi kokohnya landasan ini ?
Inikah landasan yang baik ? Sesungguhnya keutamaan, sebagaimana mereka katakan
adalah sistem. Tetapi apakah keyakinan terhadap sistem ini dapat mengatasi
kebahagiaan saya yang bersifat khusus ? Sebenarnya prinsip yang dikhayalkan itu
tidak lain hanyalah sekedar permainan kata. Tidak dalam kejahatanpun merupakan
kecintaan kepada sistem dalam bentuk yang berlainan. Oleh sebab itu pemerintah
Amerika tidak dapat berpegang pada yang yang diyakini sebagai sesuatu yang
berfaedah pada saat mengumumkan pengharaman khaar dan pelarangan penjualan di
masyarakat pada tahun 1933. Karena, tidak lama setelah pelarangan tersebut para
pembuat keputusan itu sendiri yang memelopori pelanggaran undang-undang
tersebut. Mereka tidak seorang terhadap keputusan yang dibuatnya sendiri.
Akhirnya mereka menghapuskan kembali undang-undang itu dan kembali meneguk
khamar dengan leluasa.
Sementara
itu para sahabat Rasulullah saaw yang pada waktu itu secara peradaban
pengetahuan tentang berbagai bahaya dan faedah jauh di bawah orang-orang
Amerika kini begitu mendengar perintah Allah agar menjauhi khamar, seketika
mereka langsung menghancurkan botol-botol, guci-guci dan kantung-kantung
penyimpangan khamar mereka seraya berteriak : „Kami berhenti ya Allah, kami
berhenti!“ Perbedaan antara dua gambaran dan realitas ini sangat jelas. Pada
masyarakat Muslim ada sesuatu yang bersemayam di hatinya yang mengendalikan
hawa nafsunya untuk mengikuti perintah dan hukum Allah. Kecintaan yang terdapat
di dalam hati para sahabat Rasulullah saw inilah yang membuat mereka bersedia
menyerahkan nyawa mereka demi melindungi Rasulullah saw. Dalam perang Uhud ini
kita dapat menyaksikan berbagai pengorbanan yang menakjubkan yang mengungkapkan
pengaruh cinta ini di hati para sahabat. Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa Nabi
saw bersabda kepada para sahabatnya : „Siapa di antara kalian yang bersedia
mencari berita untukku tentang keadaan Sa‘ad bin Rabi ? Masihkah ia hidup atau
sudah matikah ? Salah seorang Anshar menyatakan kesediaannya, kemudian pergi
mencari Sa‘ad bin Rabi. Akhirnya Sa‘ad ditemukan dalam keadaan luka parah,
sedang menanti datangnya ajal. Kepadanya orang Anshar itu memberitahu :“Aku
disuruh Rasulullah saw untuk mencari engkau, apakah engkau masih hidup atau
telah mati…“ Sa‘ad menjawab :“ Beritahukan kepada beliau, bahwa aku sudah mati,
dan sampaikanlah salamku kepada beliau. Katakan kepada beliau, bahwa Sa‘ad bin
Rabi menyampaikan ucapan kepada anda (yakni Rasulullah saw ) : Semoga Allah swt
melimpahkan kebajikan sebesarbesarnya atas kepemimpinan anda sebagai seorang
Nabi yang telah diberikan kepada ummatnya ! Sampaikan juga salamku kepada
pasukan Muslimin , dan beritahukan bahwa Sa‘ad bin Rabi berkata kepada kalian :
„Allah tidak akan memaafkan kalian jika kalian meninggalkan Nabi saw, sedangkan
masih ada orang-orang hidup di antara kalian.“
Orang
Anshar itu melanjutkan ceritanya :“Belum sampai kutinggalkan, Sa‘ad pun wafat.
Aku lalu segera menghadap Nabi saw dan kusampaikan kepada beliau
pesan-pesannya. Jika cinta seperti ini telah menyelinap dan bertahta di dalam
hati setiap diri kaum Muslimin pada hari ini, sehingga menjauhkan mereka dari
syahwat dan egoisme mereka, dapatlah saya katakan :“ Saat itulah kaum Muslimin
akan tampil sebagai generasi baru dan mampu merebut kemenangan merka dari
benteng-benteng kematian, serta mengalahkan musuh-musuh mereka betapapun
rintangan yang harus dihadapinya.“
Jika anda
bertanya tentang media untuk mencapai cinta ini, ketahuilah bahwa ia harus
dicapai melalui banyak melakukan dzikir dan shalawat kepada Rasulullah saw
banyak merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah swt dan nikmat-nikmat-Nya yang
dilimpahkan kepada kita, menghayati sirah Rasulullah saw dan akhlak-akhlaknya
yang kesemuanya itu dilakukan setelah kemantapan (istiqmah) dan ibadah secara
khusyu‘ dan berkomunikasi dengan Allah swt di setiap saat.
10. Seperti disebutkan dalam riwayat Bukhari bahwa Nabi saw
memerintahkan penguburan mayat-mayar para Syuhada berikut bercak-bercak darah
yang merekat pada mereka dan tanpa menshalatkannya.
Setiap satu kubur diisikan dua orang Syuhada.
Peristiwa ini dijadikan dalil oleh para ulama bahwa orang yang syahid dalam
pertempuran jihad tidak perlu dimandikan dan dishalatkan. Ia harus dikuburkan
sebagaimana adanya. Imam Syafi‘I berkata : “Secara mutawatir hadits-hadits
menyebutkan bahwa Nabi saw tidak menshalatkan mereka (syuhadah). Adapun riwayat
yang menyebutkan bahwa Nabi saw menshalatinya (Hamzah) sebanyak tujuh puluh
kali , adalah riwayat lemah dan keliru.“
Para
Ulama juga berpendapat , berdasarkan peristiwa ini, bahwa apabila keadaan
dharurat maka dibolehkan penguburan lebih dari satu orang dalam satu kubur.
Jika tidak dharurat tidak dibolehkan.
11. Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan Rasulullah saw bersama
para sahabatnya setelah sehari tiba di Madinah (mengejar kembali musuh
Musyrikin di Hamra‘ul Asad), tampaklah kepada kita suatu pelajaran pertempuran
Uhud secara jelas dan sempurna, di samping tampak pula bagi kita masing-masing
dari kedua hasilnya baik yang positif ataupun yang negatif.
Secara jelas dan pasti, terlihat bahwa kemenangan ini
hanya bisa dicapai dengan kesabaran, ketaatan kepada perintah-perintah pimpinan
yang baik, dan tujuan yang murni semata-mata demi agama. Seperti telah kita
ketahui, bahwa begitu Nabi saw mengumumkan agar pengejaran musuh dilakukan ,
para sahabat yang kemarin ikut berperang serta merta berkumpul dan melaksanakan
tugas tanpa menghiraukan luka yang dideritanya bahkan belum ada yang sempat
beristirahat di rumahnya. Mereka segera berangkat mengikuti Rasulullah saw
mengejar kaum Musyrikin yang sedang dimabuk kemenangan.
Pada kali ini tidak seorang pun di antara kaum
Muslimin yang memiliki ambisi untuk merebut ghanimah atau kepentingan duniawi.
Mereka hanya ingin mencapai kemenangan atau syahid di jalan Allah, walaupun
dengan berbalut luka yang masih mengucurkan darah. Tetapi bagaimanakah hasilnya?
Kemenangan yang baru saja dirayakan oleh kaum Musyrikin ini tidak mampu mereka
pertahankan atau lanjutkan, sebagaimana halnya luka parah yang diderita oleh
kaum Muslimin itu tidak menghalangi sama sekali untuk merebut kembali
kemenangan. Bagaimana jalan ke arah ini ? Jalannya ialah mukjizat Ilahi untuk menyempurnakan
pelajaran dan pembinaan kepada kaum Muslimin.
Secara tiba-tiba hati kaum Musyrikin merasa gentar
karena membayangkan apa yang diceritakan oleh seorang kawan mereka tentang kaum
Msulimin, bahwa Muhammad dan para sahabatnya kali ini datang membawa kematian
untuk disebarkan di antara mereka, sehingga mereka pun lari tunggang-langgang
kembali ke Mekkah dengan hati kecut. Bagaimana rasa takut kepada kaum Muslimin
ini dapat masuk ke dalam hati mereka , padahal mereka baru saja memukul mundur
kaum Muslimin? Hal ini terjadi semata-mata karena kehendak Ilahi yang telah
menjadikan peristiwa ini secara keseluruhan sebagai pelajaran penting bagi kaum
Muslimin, baik yang bersifat positif maupun negatif.
Sebagai penutup dan kelengkapan pelajaran Uhud,
turunlah firman Allah : “Orang-orang yang
mentaati perintah Allah swt, dan Rasul-Nya setelah mereka mendapat luka (dalam
pertempuran Uhud) bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan
orang yang bertakwa ada pahala yang besar. (Yaitu) orang-orang yang kepada
mereka ada orang-orang yang mengatakan :“Sesungguhnya manusia telah
mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.“
Namun, justru perkataan itu menambah keimanan mereka. Dan mereka menjawab :“
Cukuplah Allah swt menjadi Penolong kami dan Allah swt adalah sebaik-baik
Pelindung.“ Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia yang besar dari
Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa , mereka mengikuti keridhahan
Allah swt. Dan Allah swt mempunyai karunia yang besar.“ (QS Ali-Imran :
172-174).[4]
C.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat
diambil kesimpulan berupa : Periode kelima merupakan periode dengan berbagai
peperangan besar dialami oleh kaum muslimiin atau disebut dengan periode perang membela
diri. Itu ditandai dengan
peperangan pertama yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan disebut dengan perang
Ghazwah (perang yang langsung dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw). Salah satunya
adalah perang Badar dan Perang Uhud.
Perang
Badar terjadi di lembah Badar, 125 km selatan Madinah. Perang Badar merupakan
puncak pertikaian antara kaum muslimin Madinah dan musyriqin Quraisy Mekah.
Peperangan ini disebabkan oleh tindakan pengusiran dan perampasan harta kaum
muslim yang dilakukan oleh musyrikin Quraisy. Selanjutnya kaum Quraisy
terus-menerus berupaya menghancurkan kaum muslimin agar perniagaan dan
sesembahan mereka terjamin. Dalam peperangan ini kaum muslim memenangkan
pertempuran dengan gemilang. Tiga tokoh Quraisy yang terlibat dalam perang
Badar adalah Utbah bin Rabi’ah, Al-Walid dan Syaibah. Ketiganya tewas di tangan
tokoh muslim, seperti Ali bin Abi Thalib, Ubaidah bin Haris dan Hamzah bin
Abdul Muthalib. Adapun di pihak muslim, Ubaidah bin Haris meninggal karena
terluka.[5]
2. Banu
Qainuqa
54
|
3. Perang Uhud
(Sya’ban 3 H)
Perang uhud terjadi
di Bukit Uhud. Perang Uhud dilatarbelakangi kekalahan kaum Quraisy pada perang
Badar sehingga timbul keinginan untuk membalas dendam kepada kaum
Muslimin. Pasukan Quraisy yang di pimpin
Khalid bin Walid mendapat bantuan dari Kabilah Saqif, Tihamah dan Kinanah.Nabi
Muhamma saw segera mengadakan musyawarah untuk mencari strategi perang yang
tepat dalam menghadapi musuh. Kaum Quraisy akan di songsong di luar Madinah.
Akan tetapi Abdullah bin Ubay membelot dan membawa tiga ratus orang Yahudi
kembali pulang. Dengan membawa 700 orang yang tersisa, Nabi Muhammad saw melanjutkan
perjalanan sampai ke bukit Uhud. Perang Uhud
di mulai dengan perang tanding yang di menangkan tentara Islam, tetapi
kemenangan tersebut di gagalkan oleh
godaan harta, yakni prajurit islam sibuk memungut harta rampasan. Pasukan
Khalid bin Walid memanfaatkan keadaan ini dan menyerang balik tentara Islam. Tentara
Islam terjepit dan porak poranda ,sedangkan Nabi SAW
sendiri terkena serangan musuh. Pasukan Quraisy kemudian mengakhiri
pertempuran setelah mengira Nabi SAW terbunuh. Dalam peperangan ini, Hamzah bin
Abdul Muthalib (paman Nabi SAW) terbunuh.[7]
B.
Saran
Dari penjelasan diatas, diharapkan mahasiswa dapat
mengambil pelajaran yang dapat diambil dari Rasulullah SAW sebagai teladan yang
baik, seperti kebijakan/keputusan Rasulullah SAW dalam memutuskan strategi
dalam memerangi orang-orang Quraisy, sabar, serta selalu berusaha dan berdoa
kepada Allah SWT.
DAFTAR
PUSTAKA
Samsul Munir Amin. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah
http://allaylaa.blogspot.co.id/2014/10/v-behaviorurldefaultvmlo.html/(diakses tanggal 20 Oktober 2015)
https://alquranmulia.wordpress.com/2014/09/02/peperangan-pertama-yang-dilakukan-rasulullah-saw/ (diakses tanggal 20 Oktober 2015)
https://alquranmulia.wordpress.com/2014/09/02/banu-qainuqa-pengkhianatan-pertama-kaum-yahudi-terhadap-kaum-muslimin/ (diakses tanggal 20
Oktober 2015)
[1] http://allaylaa.blogspot.co.id/2014/10/v-behaviorurldefaultvmlo.html/ (diakses tanggal 20 Oktober 2015)
[2]
https://alquranmulia.wordpress.com/2014/09/02/peperangan-pertama-yang-dilakukan-rasulullah-saw/
(diakses tanggal 20 Oktober 2015)
[3]
https://alquranmulia.wordpress.com/2014/09/02/banu-qainuqa-pengkhianatan-pertama-kaum-yahudi-terhadap-kaum-muslimin/ (diakses tanggal 20
Oktober 2015)
[6] https://alquranmulia.wordpress.com/2014/09/02/banu-qainuqa-pengkhianatan pertama-kaum-yahudi-terhadap-kaum-muslimin/
(diakses tanggal 20 Oktober 2015)
Komentar
Posting Komentar